A.
Pendahuluan
Filsafat adalah pencarian kebenaran
melalui alur berfikir yang sistematis, artinya perbincangan mengenai segala
sesuatu dilakukan secara teratur mengikuti sistem yang berlaku sehingga
tahapan-tahapannya mudah diikuti. Berfikir sistematis tentu tidak
loncat-loncat, melainkan mengikuti aturan main yang benar.
Filsafat selalu mencari jawaban-jawaban, tetapi jawaban yang ditemukan tidak
pernah abadi. Oleh karena itu filsafat tidak pernah selesai dan tidak pernah
sampai pada akhir sebuah masalah. Masalah-masalah filsafat tidak pernah
selesai karena itulah memang sebenarnya
filsafat.
Filsafat juga dianggap sebagai kreasi
berfikir dengan menggunakan metode-metode ilmiah untuk memahami dunia dimana
kita hidup. Usaha untuk memahami dunia dan memperpadukan hasil-hasil dari ilmu
pengetahuan kepengetahuan spesial agar menjadi suatu macam pandangan hidup yang
seragam, merupakan tujuan yang esensial dari filsafat sejak dari zaman Thales,
filsuf Yunani yang pertama-tama hingga zaman sekarang.
Filsafat mulanya lahir akibat adanya keingintahuan manusia terhadap keberadaan alam
semesta ini. Dari apa bumi ini dicipkatan ? apa sebabnya matahari terbit dari
timur? Serangkaian pertanyaan-pertanyaan tersebut menghiasi berfikir filsafat.
Pertanyaan-pertanyaan itu juga berpengaruh terhadap proses penegakan hukum
dengan adanya sebab akibat (kausalita),
mengapa seseorang bisa tertabrak ? apa sebabnya seseorang bisa dihukum?apa sebabnya
rumah itu bisa terbakar ? dan pertanyaan-pertanyaan berikutnya.
Idealisme merupakan salah satu cabang
filsafat yang sering menjadi bahan diskusi dikalangan para akademisi terkait
pemikirannya mengutamakan ide daripada realitas, hal ini yang menjadi sangat
menarik untuk dikaji lebih lanjut. Maka
dari itu tulisan ini akan mencoba sedikit memberikan pengantar bahan diskusi
terkait filsafat idealisme yang lebih menitik beratkan pada pemikiran Plato dan
teori kausalitas dalam penegakan hukum.
B. Filsafat Idealisme
1. Definisi Idealisme
Idealisme merupakan salah satu aliran
filsafat yang banyak mendapat sorotan dari kalangan pemerhati filsafat karena
terkait dengan pemahannya yang memprioritaskan ide dari pada realitas, namun
kata idealis itu sendiri ketika diaplikasikan dalam bahasa sehari-hari mempunyai
berbagai arti.
Kata idealis
dalam filsafat mempunyai arti yang sangat berbeda dari artinya dalam bahasa
sehari-hari. Secara umum kata itu berarti: (1) seseorang menerima ukuran moral
yang tinggi, estetika dan agama serta menghayatinya. (2) orang yang dapat
melukiskan dan menganjurkan suatu rencana atau program yang belum ada. Tiap
pembaharuan sosial adalah seorang idealis dalam arti kedua ini, karena itu
menyokong sesuatu yang belum ada. Mereka yang berusaha mencapai perdamaian yang
abadi atau memusnahkan kemiskinan juga dapat dinamakan idealis dalam arti ini.
Kata idealis dapat diartikan pujian atau olok-olok. Seseorang yang
memperjuangkan tujuan-tujuan yang dipandang orang lain tidak mungkin dicapai,
atau seseorang yang menanggap sepi fakta-fakta dan kondisi-kondisi sesuatu
situasi, sering dinamakan: mere idealist
(idealis semata-mata).
Arti filsafat dari kata idealism ditentukan lebih banyak oleh
arti kata ide dari pada kata ideal.
W.E.Hocking, seorang idealis mengatakan bahwa kata idea-ism lebih tepat digunakan dari pada idealism. Secara ringkas idealism mengatakan bahwa realitas terdiri
dari ide-ide, pikiran-pikiran, akal (mind)
atau jiwa (self) dan bukan benda
material dan kekuatan. Idealisme menekankan
mind sebagai hal yang lebih dahulu (primer) dari pada materi.
Sebaliknya, materialisme mengatakan sebaliknya. Materialisme mengatakan bahwa
materi itulah yang ril atau yang nyata. Adapun akal (mind) hanyalah fenomena
yang menyertainya. Idealisme mengatakan akal itulah yang riil dan materi
hanyalah merupakan produk sampingan.
Idealisme
adalah suatu aliran yang mengajarkan bahwa hakikat dunia fisik hanya dapat
dipahami dalam kaitannya dengan jiwa dan roh. Istilah idealisme diambil dari
kata idea yaitu sesuatu yang hadir
dalam jiwa. Pandangan ini telah dimiliki oleh plato dan pada filsafat modern
dipelopori oleh J.G. Fichte, Sckelling, dan Hegel.
Dengan demikian bahwa idealisme merupakan suatu pandangan yang mengatakan bahwa
sesungguhnya realitas sangat erat hubungannya dengan ide, pikiran atau jiwa.
Idealisme mempunyai argument
epistemologi tersendiri. Oleh karena itu, tokoh-tokoh teisme yang mengajarkan
bahwa materi bergantung kepada spirit tidak disebut idealis karena mereka tidak
menggunakan argument yang mengatakan bahwa objek-objek
fisik pada akhirnya adalah ciptaan tuhan, argument orang-orang idealisme
mengatakan bahwa objek-objek tidak dapat dipahami terlepas dari spirit. Idealisme secara umum selalu berhubungan
dengan rasionalisme ini adalah mazhab epistemologi yang mengajarkan bahwa
pengetahuan a priori atau deduktif dapat diperoleh manusia dengan akalnya.
Lawan rasionalisme dalam epistemologi adalah empirisme yang mengatakan bahwa
pengetahuan bukan diperoleh lewat rasio (akal), melainkan melalui pengalaman
empiris. Orang-orang empirisme sangat
sulit menerima paham bahwa semua realitas adalah mental atau bergantung
pada jiwa atau roh karena pandangan itu melibatkan dogma metafisik.
Plato sering disebut sebagai idealis sekalipun ide – nya tidak khusus
(spesifik) mental, tetapi lebih merupakan objek universal (mirip dengan
definisi pada Aristoteles, pengertian umum pada Socrates). Akan tetapi, ia
sependapat dengan ide modern yang
mengajarkan bahwa hakikat penampakan (yang tampak) itu berwatak (khas)
spiritual. Ini terlihat dengan jelas pada legenda manusia guanya yang terkenal
itu. Pandangan ini dikembangakan oleh Plotinus.
Plato salah seorang murid dan teman
Socrates, memperkuat pendapat guru itu, Menurut Plato, kebenaran umum
(definisi) itu bukan dibuat dengan cara dialog yang induktif seperti pada
Socrates; pengertian umum itu sudah tersedia di “sana” di alam ide itu. Definisi pada Socrates dapat saja diartikan
tidak memiliki realitas. Realitasnya, ya di alam ide itu.
Hal ini jelas bahwa pendapat Plato mengenai kebenaran berbeda dengan gurunya
Socrates, Plato berpendapat bahwa sebenarnya konsep kebenaran sudah ada di alam
ide bukan di buat atau didialogkan seperti halnya Socrates, namun dengan ini
memperkuat pendapat gurunya Socrates untuk melemahkan pemikiran-pemikiran kaum
sofis yang tidak mempercayai adanya kebenaran yang bersifat umum yang ada
hanyalah kebenaran relatif.
Plato percaya bahwa dibelakang alam
perubahan atau alam empiris, alam fenomena yang kita lihat atau kita rasakan,
terdapat alam ideal, yaitu alam esensi, form atau ide. Bagi Plato dunia dibagi
dalam dua bagian.
Pertama, dunia
persepsi, dunia penglihatan, suara dan benda-benda individual. Dunia
seperti itu, yang kongkrit, temporal dan
rusak bukannya dunia yang sesungguhnya, melainkan dunia penampakan saja.
Kedua, terdapat alam
di atas alam benda, yaitu alam konsep, ide, universal, atau esensi yang abadi
konsep “manusia” mengandung “realitas” yang lebih besar daripada yang dimiliki
orang seorang kita mengenal benda-bendri pada individual
karena kita mengetahui
konsep-konsep dari contoh-contoh yang abadi bidang yang kedua ini mencakup
contoh, bentuk (form) atau jenis (type) yang berguna sebagai ukuran untuk
benda-benda yang kita persepsikan dengan
indera kita. Ide-ide adalah contoh yang transeden dan asli, sedangkan persepsi
dan benda-benda individual adalah copy atau bayangan dari ide-ide tersebut.
Plato (428-347), salah seorang nama lain
dari tiga nama yang pertama-tama mempopulerkan tradisi berfikir dan bermetode
filsafat hukum. Seperti yang telah diriwayatkan Valerine J.L Kriekhof, hampir
tidak ada masalah filsafat hukum yang luput dari perhatian Plato. Orang ini
sudah mulai tekun menulis pada saat kehidupan kota Yunani tengah mengalami
gelombang kemerosotan yang sangat hebat, ketika hukum tampil hanya dalam
peraktek yang ditetapkan melalui pergeseran masyarakat mayoritas untuk
kepentingan mereka sendiri, akibatnya keselarasan (keharmonisan) antara
cita-cita sistem hukum dan cita-cita sistem dari alam semesta tidak mudah untuk
dipertahankan. Pada yang demikian itu Plato berusaha untuk memulihkan kembali,
sejauh mungkin, penganalogian secara tradisional antara konsep keadilan dan
prinsip-prinsip alam dalam cara-cara yang sistematis.
Dalam perenungannya bertema
idealistikal, misalnya, Plato berusaha merekomendasikan beberapa hal yang
olehnya diarahkan untuk menjawab pertanyaan tentang “ apa pengertian tentang
hukum itu”? dalam Republic, Plato
menanggapi ini dengan menegaskan hukum sebagai: sistem aturan-aturan positif yang terorganisir atau terformulasi,
mengikat keseluruhan individu dalam negara.
Plato telah membahas hampir semua masalah yang tercakup dalam filsafat hukum.
Baginya, keadilan (justice) adalah
tindakan yang benar, tidak diidentifikasikan dengan hanya kepatuhan pada aturan
hukum. Keadilan adalah suatu cirri sifat manusia yang mengkordinasi dan
membatasi perbagai elemen dari psike manusia pada lingkungannya yang tepat (proper spheres) agar memungkinkan
manusia dalam keutuhannya berfungsi dengan baik.
Dalam naskah lainnya, The laws, Plato mengusahakan ladang-ladang
perenungannya dengan bertitik tumpu pada konsep akal, bahwa hukum merupakan
hasil dari pengelolaan pikiran-pikiran manusia dalam cara-cara yang masuk akal
dengan kata lain: hukum adalah logismos
atau reasoned thought (pikiran yang
masuk akal) yang dirumuskan dalam putusan negara. Plato menolak pandangan bahwa
otoritas hukum bertumpu semata-mata pada kemauan dan kehendak governing power (pihak-pihak yang
memangku kekuasaan).
C. Teori
Kausalitas dalam Penegakan Hukum
Tiap-tiap
peristiwa pasti ada sebabnya tidak mungkin terjadi begitu saja, dapat juga
suatu peristiwa menimbulkan peristiwa yang lain. Disamping hal tersebut diatas
dapat juga terjadi satu peristiwa sebagai akibat satu peristiwa atau beberapa
peristiwa yang lain. Masalah sebab dan akibat tersebut dengan nama causalitas, yang berasal dari kata “causa” yang artinya adalah sebab. Di dalam ilmu
pengetahuan hukum pidana ajaran causalitas
ini bertujuan untuk memberikan jawaban atas pertanyaan bilamanakah suatu
perbuatan dipandang sebagai suatu sebab dan akibat yang timbul atau dengan
perkataan lain ajaran causalitas bertujuan
untuk mencari hubungan sebab dan akibat seberapa jauh akibat tersebut
ditentukan oleh sebab.
Dengan demikian jelas bahwa dalam proses penegakan hukum harus diperhatikan
terkait dengan beberapa mata rantai dalam hubungan sebab dan akibat, karena
tidak semata-mata peristiwa itu terjadi tanpa ada yang mengawalinya (sebab). Sehingga
sebab ini menjadi faktor penentu terhadap suatu peristiwa.
1.
Teori-teori Kausalitas
(Ajaran-ajaran Kausalitas)
a.
Teori Ekivalensi
(aquivalenz-theorie) atau Bedingungstheorie
atau teori condition sine qua non dari von Buri
Teori ini
mengatakan : tiap syarat adalah sebab, dan semua syarat itu nilainya sama,
sebab kalau satu syarat tidak ada maka akibatnya akan lain pula. Tiap syarat,
baik positif maupun negatif untuk timbulnya suatu akibat itu adalah sebab, dan
mempunyai nilai yang sama. Kalau satu syarat dihilangkan, maka tidak akan
terjadi akibat kongkrit, seperti yang senyata-nyatanya, menurut waktu, tempat
dan keadaannya. Tidak ada syarat yang dapat dihilangkan (lazim dirumuskan “nicht hiin weggedacht warden kann dan
seterusnya) tanpa menyebabkan berubahnya akibat.
Contoh : A dilukai ringan, kemudian dibawa ke dokter. Di tengah jalan ia kejatuhan genting, lalu mati. Penganiayaan ringan terhadap A itu juga merupakan sebab
dari matinya A.
Teori ekivalensi ini memakai pengertian “sebab” sejalan
dengan pengertian yang dipakai dalam logika. Dalam hubungan ini baik
dikemukakan, bahwa terlepas satu sama lain, John Stuart Mill (di Inggris) dalam
bukunya : Sistem of Logic
berpendapat, “bahwa “sebab itu adalah “the
whole of antecedents” (1843).
Van Hamel, seorang penganut teori ekivalensi berpendapat
bahwa “untuk hukum pidana teori ini boleh digunakan, apabila diperbaiki dan
diatur oleh teori kesalahan yang harus diterapkan dengan sebaik-baiknya”. Di
sini dijelaskan, bahwa harus dibedakan antara hubungan kausal dan pertanggung
jawaban pidana.
Kritik/keberatan terhadap teori ini : hubungan kausal
membentang ke belakang tanpa akhir, sebab tiap-tiap “sebab” sebenarnya merupakan
“akibat” dari “sebab” yang terjadi sebelumnya.
Jadi
misal : B ditikam oleh A sampai mati. Yang merupakan sebab bukan hanya ditikam
A, tetapi juga penjualan pisau itu kepada A dan penjualan pisau itu tidak ada,
apabila tidak ada pembuatan pisau.
Jadi
pembuatan pisau itu juga “sebab” dan begitu seterusnya. Berhubungan dengan
keberatan itu, maka ada teori-teori lain yang hendak membatasi teori tersebut
teori-teori yang akan disebutkan di bawah ini, mengambil dari sekian faktor
yang menimbulkan akibat itu beberapa faktor yang kuat (dominant), sedang faktor-faktor lainnya dipisahkan sebagai faktor-faktor
yang irrelevant (yang tidak perlu/penting).
Kebaikan
teori ini: mudah diterapkan, sehingga tidak banyak menimbulkan persoalan, dan
juga karena teori ini menarik secara luas sekali dalam membatasi lingkungan
berlakunya pertanggungjawaban pidana. Teori ekivalensi ini dapat dipandang
sebagai pangkal dari teori-teori lain.
b. Teori Individualisasi
Teori-teori ini memilih secara post
actum (inconcreto), artinya setelah peristiwa kongkrit terjadi, dari
serentetan faktor yang aktif dan pasif dipilih
sebab yang paling menentukan dari peristiwa
tersebut; sedang faktor-faktor lainnya hanya merupakan syarat belaka.
Penganutpenganutnya tidak banyak antara lain :
1.
Birkmayer
(1885) mengemukakan : sebab adalah syarat yang paling kuat (Ursache ist die wirksamste Bedingung)
2.
Binding.
Teorinya disebut (Ubergewichtstheorie)
Dikatakan:
sebab dari sesuatu perubahan adalah identik dengan perubahan dalam keseimbangan
antara faktor yang menahan (negatif) dan faktor yang positif, dimana faktor
yang positif itu lebih unggul. Yang disebut “sebab” adalah syarat-syarat
positif dalam keunggulannya (in ihrem Ubergerwicht-bobot yang melebihi)
terhadap syarat-syarat yang negatif. Satu-satunya sebab ialah faktor atau
syarat terakhir yang menghilangkan keseimbangan dan memenangkan faktor positif
itu.
c.
Teori
Generalisasi
Teori-teori ini melihat secara ante factum (sebelum kejadian/in abstracto) apakah diantara serentetan syarat itu ada perbuatan manusia yang pada umumnya dapat menimbulkan akibat semacam itu, artinya menurut
pengalaman hidup biasa, atau menurut perhitungan yang layak, mempunyai kadar (kans) untuk itu. Dalam teori ini dicari sebab yang adequate untuk timbulnya akibat yang bersangkutan (ad-aequare artinya dibuat sama). Oleh karena itu teori ini disebut
teori adequat (teori adequate, Ada-quanzttheorie). Contoh-contoh
tentang ada atau tidaknya hubungan sebab akibat yang adequat :
1.
Suatu
jotosan yang mengenai hidung, biasanya dapat mengakibatkan hidung keluar darah.
Akan tetapi apabila orang yang pukul itu menjadi buta itu bukan akibat yang
adequate. Ini suatu akibat yang abnormal, yang tidak biasa.
2.
Seorang
yang menyetir mobil terpaksa mengerem sekonyong-konyong, oleh karena ada
pengendara sepeda hendak menyebrang jalan yang membelok, sedang ini tidak
disangka-sangka oleh pengendara mobil. Pengendara mobil ini mendapat penyakit trauma
karena menekan urat. Dan ini pun dapat dikatakan bahwa perbuatan pengendara
sepeda itu tidak merupakan penyebab yang adequate untuk timbulnya penyakit
trauma tersebut.
3.
Seorang
petani membakar tumpukan rumput kering (hooi), dimana secara kebetulan
bersembunyi/tidur seorang penjahat hingga ikut mati terbakar. Adakah
pen-sebab-an yang adequate ? Jawabannya tergantung dari keadaan. Jika biasanya
menurut pengalaman sehari-hari, tidak timbul akibat semacam itu maka perbuatan
petani itu bukanlah sebab. Akan tetapi apabila di daerah itu merupakan
kebiasaan orang untuk bersembunyi atau menginap dalam tumpukan rumput, maka
perbuatan petani itu benar-benar mempunyai kadar untuk matinya seseorang.
Hal
yang merupakan persoalan dalam teori ini ialah : bagaimanakah penentuannya,
bahwa suatu sebab itu pada umumnya cocok untuk menimbulkan akibat tertentu itu
? Mengenai hal ini ada beberapa pendirian. Disini disebut antara lain :
1. Penentuan subyektif (subjective
ursprungliche prognose).
Disini yang dianggap sebab
ialah apa
yang oleh sipembuat dapat diketahui/diperkirakan
bahwa apa yang dilakukan itu pada umumnya dapat menimbulkan akibat
semacam itu (Von Kries jadi pandangan atau pengetahuan sipembuatlah yang menentukan).
2.
Penentuan obyektif.
Dasar penentuan apakah suatu perbuatan
itu dapat menimbulkan akibat ialah keadaan atau hal-hal yang secara obyektif
kemudian diketahui atau pada umumnya diketahui. Jadi bukan yang diketahui atau
yang dapat diketahui oleh sipembuat, melainkan pengetahuan dari hakim.
Dasar
penentuan (Beurteilungs standpunkte)
ini disebut “objektive nachtragliche prognose”
(Rumelin).
Sebenarnya
dalam teori kausal adequat subyektif (Von Kries) itu tersimpul unsur penentuan
tentang kesalahan); oleh karena itu dapat dikatakan bahwa teori adequate
subyektif dari von Kries ini bukan teori kausalitas yang murni. Sebab suatu
perbuatan baru dianggap sebagai sebab yang adequate apabila sipembuat dapat
mengira-ngirakan atau membayangkan (voor zien) akan terjadinya akibat atau
kalau orang umumnya membayangkan terjadinya akibat itu; jadi sipembuat dapat
membayangkan dan seharusnya dapat membayangkan. Oleh karena dalam ajaran
tersebut tersimpul unsur kesalahan, maka ia juga menentukan pertanggunganjawab
(pidana), jadi bukan teori kausalitas dalam arti yang sesungguhnya.
Contoh:
seorang majikan, yang sangat membenci pekerjanya, tetapi tidak berani
melepasnya, ingin sekali agar pekerja itu mati. Pada waktu hujan yang disertai
petir ia menyuruh pekerjanya itu pergi ke suatu tempat dengan harapan agar orang
itu disambar petir. Harapan itu terkabul dan pekerjanya itu mati disambar
petir.
Menurut
teori ekivalensi: ya, sebab seandainya pekerja itu tidak disuruh keluar oleh
majikan, maka ia tidak mati. Konsekwensi ini umumnya dipandang terlalu jauh.
Oleh karena itu lebih memuaskan apabila dipakai teori adequate. Menurut teori
ini : perbuatan menyuruh orang ke tempat lain pada umumnya tidak mempunyai
kadar untuk kematian seseorang karena disambar petir. Penyambaran petir adalah
hal yang kebetulan. Dengan ini maka tidak ada hubungan kausal, sehingga juga
tidak ada pemidanaan.
Beberapa
penganut teori adequat yang lain :
1.
Simons
Dikatakan
olehnya : “suatu perbuatan dapat disebut sebagai sebab dari suatu akibat,
apabila menuntut pengalaman manusia pada umumnya harus diperhitungkan
kemungkinan, bahwa dari perbuatan sendiri akan terjadi akibat itu”.
2. Pompe
Yang
disebut sebab ialah perbuatan-perbuatan yang dalam keadaan tertentu itu
mempunyai strekking untuk menimbulkan akibat yang bersangkutan.
Tinjauan terhadap
teori-teori kausalitas tersebut di atas :
teori ekuivalentie dapat dikatakan teori kausalitas yang benar, akan tetapi
selalu diberi suatu penambahan. Teori ini ditambah dengan penentuan ada dan
tidaknya unsur kesalahan pada sipembuat, dan memberi keterangan yang cukup
memuaskan apakah sesuatu perbuatan itu merupakan sebab dari sesuatu akibat yang
dimaksudkan dalam rumusan delik yang bersangkutan.
Mengenai teori
adequat dari von Kries, itu dapat juga dikatakan, bahwa teori tersebut sesuai
dengan jiwa hukum pidana. Hukum Pidana itu mempunyai tugas untuk melindungi kepentingan hukum
terhadap perkosaan dan perbuatan yang membahayakan.
Berhubung dengan tugas tersebut maka
hukum pidana harus membuat “pagar” terhadap perbuatan-perbuatan yang agaknya mendatangkan kerugian. Dalam hal
ini teori adequat dapat menunjukkan perbuatan-perbuatan tersebut. Akan tetapi
kelemahan teori ini tidak mudah dalam kenyataan, ia menggunakan istilah-istilah
yang tidak terang misalnya biasanya, kadar, pengalaman manusia pada umumnya dan
sebagainya.
D. Kesimpulan
Idealisme
merupakan suatu paham yang mengedepankan bahwa penampakan dunia fisik pada
hakikatnya sudah berada di alam ide. Kebenaran dalam pemikiran Plato adalah berada
di alam ide bukan didialogkan seperti halnya Socrates gurunya. Hukum dalam
pemikiran Plato terkait dengan pengelolaan pemikiran-pemikiran manusia yang
masuk akal yang diputuskan oleh negara, namun ini tidak menjadi hak otoritatif
negara dalam membuat hukum.
Teori kausalitas
terkait dengan hubungan adanya sebab-sebab tertentu yang mengakibatkan terjadinya sesuatu. Dalam
penegakan hukum teori kausalitas ada tiga macam. Yaitu teori Ekivalensi, teori
Individualisasi dan teori Generalisasi. Masing-masing ketiga teori ini saling
melengkapi dan menguatkan dalam proses penegakan hukum.
Daftar Pustaka
…….2010,
Modul Azaz-azaz Hukum Pidana untuk Diklat Pendahuluan Pendidikan dan Pelatihan
Pembentukan Jaksa (PPPJ), Jakarta.
AM.
Suhar, 2010, Filsafat Umum Konsepsi, Sejarah dan Aliran, Gaung Persada Press, Jakarta.
Prodjohamidjojo.
Martin, 1997, Memahami Dasar-dasar Hukum
Pidana Indonesia, PT. Pradnya Paramita, Jakarta.
Tafsir.
Ahmad, 2012, Filsafat Umum Akal dan Hati
Sejak Thales sampai Capra, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung.
Teori ini berasal dari M. von Buri, sarjana Jerman, dalam bukunya
Ueber Causalitat und deren
Verantwortung, Lepzig tahun 1973 mengatakan bahwa setiap syarat yang tidak
dapat dihilangkan dari pikiran tanpa membuang pikiran hasil terakhir adalah
menjadi sebab. Jadi, setiap faktor yang turut serta menjadikan akibat harus
dipandang sebagai sebab-sebab yang tidak dapat diabaikan. Martin Prodjohamidjojo, Memahami Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, Cetakan 1, (Jakarta:
PT. Pradnya Paramita, 1997), hlm. 32.