FILSAFAT IDEALISME DAN TEORI KAUSALITAS DALAM PENEGAKAN HUKUM


A.  Pendahuluan
Filsafat adalah pencarian kebenaran melalui alur berfikir yang sistematis, artinya perbincangan mengenai segala sesuatu dilakukan secara teratur mengikuti sistem yang berlaku sehingga tahapan-tahapannya mudah diikuti. Berfikir sistematis tentu tidak loncat-loncat, melainkan mengikuti aturan main yang benar.[1] Filsafat selalu mencari jawaban-jawaban, tetapi jawaban yang ditemukan tidak pernah abadi. Oleh karena itu filsafat tidak pernah selesai dan tidak pernah sampai pada akhir sebuah masalah. Masalah-masalah filsafat tidak pernah selesai  karena itulah memang sebenarnya filsafat.[2]
Filsafat juga dianggap sebagai kreasi berfikir dengan menggunakan metode-metode ilmiah untuk memahami dunia dimana kita hidup. Usaha untuk memahami dunia dan memperpadukan hasil-hasil dari ilmu pengetahuan kepengetahuan spesial agar menjadi suatu macam pandangan hidup yang seragam, merupakan tujuan yang esensial dari filsafat sejak dari zaman Thales[3], filsuf Yunani yang pertama-tama hingga zaman sekarang.[4] Filsafat mulanya lahir akibat adanya keingintahuan manusia terhadap keberadaan alam semesta ini. Dari apa bumi ini dicipkatan ? apa sebabnya matahari terbit dari timur? Serangkaian pertanyaan-pertanyaan tersebut menghiasi berfikir filsafat. Pertanyaan-pertanyaan itu juga berpengaruh terhadap proses penegakan hukum dengan adanya sebab akibat (kausalita), mengapa seseorang bisa tertabrak ? apa sebabnya seseorang bisa dihukum?apa sebabnya rumah itu bisa terbakar ? dan pertanyaan-pertanyaan berikutnya.
Idealisme merupakan salah satu cabang filsafat yang sering menjadi bahan diskusi dikalangan para akademisi terkait pemikirannya mengutamakan ide daripada realitas, hal ini yang menjadi sangat menarik untuk dikaji lebih lanjut.  Maka dari itu tulisan ini akan mencoba sedikit memberikan pengantar bahan diskusi terkait filsafat idealisme yang lebih menitik beratkan pada pemikiran Plato dan teori kausalitas dalam penegakan hukum.

B. Filsafat Idealisme
1.  Definisi Idealisme
Idealisme merupakan salah satu aliran filsafat yang banyak mendapat sorotan dari kalangan pemerhati filsafat karena terkait dengan pemahannya yang memprioritaskan ide dari pada realitas, namun kata idealis itu sendiri ketika diaplikasikan dalam bahasa sehari-hari mempunyai berbagai arti.
Kata idealis dalam filsafat mempunyai arti yang sangat berbeda dari artinya dalam bahasa sehari-hari. Secara umum kata itu berarti: (1) seseorang menerima ukuran moral yang tinggi, estetika dan agama serta menghayatinya. (2) orang yang dapat melukiskan dan menganjurkan suatu rencana atau program yang belum ada. Tiap pembaharuan sosial adalah seorang idealis dalam arti kedua ini, karena itu menyokong sesuatu yang belum ada. Mereka yang berusaha mencapai perdamaian yang abadi atau memusnahkan kemiskinan juga dapat dinamakan idealis dalam arti ini. Kata idealis dapat diartikan pujian atau olok-olok. Seseorang yang memperjuangkan tujuan-tujuan yang dipandang orang lain tidak mungkin dicapai, atau seseorang yang menanggap sepi fakta-fakta dan kondisi-kondisi sesuatu situasi, sering dinamakan: mere idealist (idealis semata-mata).[5]
Arti filsafat dari kata idealism ditentukan lebih banyak oleh arti kata ide dari pada kata ideal. W.E.Hocking, seorang idealis mengatakan bahwa kata idea-ism lebih tepat digunakan dari pada idealism. Secara ringkas idealism mengatakan bahwa realitas terdiri dari ide-ide, pikiran-pikiran, akal (mind) atau jiwa (self) dan bukan benda material dan kekuatan. Idealisme menekankan  mind sebagai hal yang lebih dahulu (primer) dari pada materi. Sebaliknya, materialisme mengatakan sebaliknya. Materialisme mengatakan bahwa materi itulah yang ril atau yang nyata. Adapun akal (mind) hanyalah fenomena yang menyertainya. Idealisme mengatakan akal itulah yang riil dan materi hanyalah merupakan produk sampingan.[6]
Idealisme adalah suatu aliran yang mengajarkan bahwa hakikat dunia fisik hanya dapat dipahami dalam kaitannya dengan jiwa dan roh. Istilah idealisme diambil dari kata idea yaitu sesuatu yang hadir dalam jiwa. Pandangan ini telah dimiliki oleh plato dan pada filsafat modern dipelopori oleh J.G. Fichte, Sckelling, dan Hegel.[7] Dengan demikian bahwa idealisme merupakan suatu pandangan yang mengatakan bahwa sesungguhnya realitas sangat erat hubungannya dengan ide, pikiran atau jiwa.
Idealisme mempunyai argument epistemologi tersendiri. Oleh karena itu, tokoh-tokoh teisme yang mengajarkan bahwa materi bergantung kepada spirit tidak disebut idealis karena mereka tidak menggunakan argument yang mengatakan bahwa objek-objek fisik pada akhirnya adalah ciptaan tuhan, argument orang-orang idealisme mengatakan bahwa objek-objek tidak dapat dipahami terlepas dari spirit.[8]  Idealisme secara umum selalu berhubungan dengan rasionalisme ini adalah mazhab epistemologi yang mengajarkan bahwa pengetahuan a priori atau deduktif dapat diperoleh manusia dengan akalnya. Lawan rasionalisme dalam epistemologi adalah empirisme yang mengatakan bahwa pengetahuan bukan diperoleh lewat rasio (akal), melainkan melalui pengalaman empiris. Orang-orang empirisme sangat  sulit menerima paham bahwa semua realitas adalah mental atau bergantung pada jiwa atau roh karena pandangan itu melibatkan dogma metafisik.[9] Plato sering disebut sebagai idealis sekalipun ide – nya tidak khusus (spesifik) mental, tetapi lebih merupakan objek universal (mirip dengan definisi pada Aristoteles, pengertian umum pada Socrates). Akan tetapi, ia sependapat  dengan ide modern yang mengajarkan bahwa hakikat penampakan (yang tampak) itu berwatak (khas) spiritual. Ini terlihat dengan jelas pada legenda manusia guanya yang terkenal itu. Pandangan ini dikembangakan oleh Plotinus.[10]
Plato salah seorang murid dan teman Socrates, memperkuat pendapat guru itu, Menurut Plato, kebenaran umum (definisi) itu bukan dibuat dengan cara dialog yang induktif seperti pada Socrates; pengertian umum itu sudah tersedia di “sana” di alam ide itu.  Definisi pada Socrates dapat saja diartikan tidak memiliki realitas. Realitasnya, ya di alam ide itu.[11] Hal ini jelas bahwa pendapat Plato mengenai kebenaran berbeda dengan gurunya Socrates, Plato berpendapat bahwa sebenarnya konsep kebenaran sudah ada di alam ide bukan di buat atau didialogkan seperti halnya Socrates, namun dengan ini memperkuat pendapat gurunya Socrates untuk melemahkan pemikiran-pemikiran kaum sofis yang tidak mempercayai adanya kebenaran yang bersifat umum yang ada hanyalah kebenaran relatif.
Plato percaya bahwa dibelakang alam perubahan atau alam empiris, alam fenomena yang kita lihat atau kita rasakan, terdapat alam ideal, yaitu alam esensi, form atau ide. Bagi Plato dunia dibagi dalam dua bagian.[12]
Pertama, dunia persepsi, dunia penglihatan, suara dan benda-benda individual. Dunia seperti  itu, yang kongkrit, temporal dan rusak bukannya dunia yang sesungguhnya, melainkan dunia penampakan saja.
Kedua, terdapat alam di atas alam benda, yaitu alam konsep, ide, universal, atau esensi yang abadi konsep “manusia” mengandung “realitas” yang lebih besar daripada yang dimiliki orang seorang kita mengenal benda-bendri pada  individual  karena kita  mengetahui konsep-konsep dari contoh-contoh yang abadi bidang yang kedua ini mencakup contoh, bentuk (form) atau jenis (type) yang berguna sebagai ukuran untuk benda-benda  yang kita persepsikan dengan indera kita. Ide-ide adalah contoh yang transeden dan asli, sedangkan persepsi dan benda-benda individual adalah copy atau bayangan dari ide-ide tersebut.
2. Filsafat Hukum[13] Plato
Plato (428-347), salah seorang nama lain dari tiga nama yang pertama-tama mempopulerkan tradisi berfikir dan bermetode filsafat hukum. Seperti yang telah diriwayatkan Valerine J.L Kriekhof, hampir tidak ada masalah filsafat hukum yang luput dari perhatian Plato. Orang ini sudah mulai tekun menulis pada saat kehidupan kota Yunani tengah mengalami gelombang kemerosotan yang sangat hebat, ketika hukum tampil hanya dalam peraktek yang ditetapkan melalui pergeseran masyarakat mayoritas untuk kepentingan mereka sendiri, akibatnya keselarasan (keharmonisan) antara cita-cita sistem hukum dan cita-cita sistem dari alam semesta tidak mudah untuk dipertahankan. Pada yang demikian itu Plato berusaha untuk memulihkan kembali, sejauh mungkin, penganalogian secara tradisional antara konsep keadilan dan prinsip-prinsip alam dalam cara-cara yang sistematis.[14]
Dalam perenungannya bertema idealistikal, misalnya, Plato berusaha merekomendasikan beberapa hal yang olehnya diarahkan untuk menjawab pertanyaan tentang “ apa pengertian tentang hukum itu”? dalam Republic, Plato menanggapi ini dengan menegaskan hukum sebagai: sistem aturan-aturan positif yang terorganisir atau terformulasi, mengikat keseluruhan individu dalam negara.[15] Plato telah membahas hampir semua masalah yang tercakup dalam filsafat hukum. Baginya, keadilan (justice) adalah tindakan yang benar, tidak diidentifikasikan dengan hanya kepatuhan pada aturan hukum. Keadilan adalah suatu cirri sifat manusia yang mengkordinasi dan membatasi perbagai elemen dari psike manusia pada lingkungannya yang tepat (proper spheres) agar memungkinkan manusia dalam keutuhannya berfungsi dengan baik.[16]
Dalam naskah lainnya, The laws, Plato mengusahakan ladang-ladang perenungannya dengan bertitik tumpu pada konsep akal, bahwa hukum merupakan hasil dari pengelolaan pikiran-pikiran manusia dalam cara-cara yang masuk akal dengan kata lain: hukum adalah logismos atau reasoned thought (pikiran yang masuk akal) yang dirumuskan dalam putusan negara. Plato menolak pandangan bahwa otoritas hukum bertumpu semata-mata pada kemauan dan kehendak governing power (pihak-pihak yang memangku kekuasaan).[17]

C. Teori Kausalitas dalam Penegakan Hukum
Tiap-tiap peristiwa pasti ada sebabnya tidak mungkin terjadi begitu saja, dapat juga suatu peristiwa menimbulkan peristiwa yang lain. Disamping hal tersebut diatas dapat juga terjadi satu peristiwa sebagai akibat satu peristiwa atau beberapa peristiwa yang lain. Masalah sebab dan akibat tersebut dengan nama causalitas, yang berasal dari kata “causa”  yang artinya adalah sebab. Di dalam ilmu pengetahuan hukum pidana ajaran causalitas ini bertujuan untuk memberikan jawaban atas pertanyaan bilamanakah suatu perbuatan dipandang sebagai suatu sebab dan akibat yang timbul atau dengan perkataan lain ajaran causalitas bertujuan untuk mencari hubungan sebab dan akibat seberapa jauh akibat tersebut ditentukan oleh sebab.[18] Dengan demikian jelas bahwa dalam proses penegakan hukum harus diperhatikan terkait dengan beberapa mata rantai dalam hubungan sebab dan akibat, karena tidak semata-mata peristiwa itu terjadi tanpa ada yang mengawalinya (sebab). Sehingga sebab ini menjadi faktor penentu terhadap suatu peristiwa.
1.    Teori-teori Kausalitas (Ajaran-ajaran Kausalitas)
a.    Teori Ekivalensi (aquivalenz-theorie) atau Bedingungstheorie atau teori condition sine qua non dari von Buri[19]
Teori ini mengatakan : tiap syarat adalah sebab, dan semua syarat itu nilainya sama, sebab kalau satu syarat tidak ada maka akibatnya akan lain pula. Tiap syarat, baik positif maupun negatif untuk timbulnya suatu akibat itu adalah sebab, dan mempunyai nilai yang sama. Kalau satu syarat dihilangkan, maka tidak akan terjadi akibat kongkrit, seperti yang senyata-nyatanya, menurut waktu, tempat dan keadaannya. Tidak ada syarat yang dapat dihilangkan (lazim dirumuskan “nicht hiin weggedacht warden kann dan seterusnya) tanpa menyebabkan berubahnya akibat.[20]
Contoh : A dilukai ringan, kemudian dibawa ke dokter. Di tengah jalan ia kejatuhan genting, lalu mati. Penganiayaan ringan terhadap A itu juga merupakan sebab dari matinya A.
Teori ekivalensi ini memakai pengertian “sebab” sejalan dengan pengertian yang dipakai dalam logika. Dalam hubungan ini baik dikemukakan, bahwa terlepas satu sama lain, John Stuart Mill (di Inggris) dalam bukunya : Sistem of Logic berpendapat, “bahwa “sebab itu adalah “the whole of antecedents” (1843).
Van Hamel, seorang penganut teori ekivalensi berpendapat bahwa “untuk hukum pidana teori ini boleh digunakan, apabila diperbaiki dan diatur oleh teori kesalahan yang harus diterapkan dengan sebaik-baiknya”. Di sini dijelaskan, bahwa harus dibedakan antara hubungan kausal dan pertanggung jawaban pidana.[21]
Kritik/keberatan terhadap teori ini : hubungan kausal membentang ke belakang tanpa akhir, sebab tiap-tiap “sebab” sebenarnya merupakan “akibat” dari “sebab” yang terjadi sebelumnya.
Jadi misal : B ditikam oleh A sampai mati. Yang merupakan sebab bukan hanya ditikam A, tetapi juga penjualan pisau itu kepada A dan penjualan pisau itu tidak ada, apabila tidak ada pembuatan pisau.
Jadi pembuatan pisau itu juga “sebab” dan begitu seterusnya. Berhubungan dengan keberatan itu, maka ada teori-teori lain yang hendak membatasi teori tersebut teori-teori yang akan disebutkan di bawah ini, mengambil dari sekian faktor yang menimbulkan akibat itu beberapa faktor yang kuat (dominant), sedang faktor-faktor lainnya dipisahkan sebagai faktor­-faktor yang irrelevant (yang tidak perlu/penting).
Kebaikan teori ini: mudah diterapkan, sehingga tidak banyak menimbulkan persoalan, dan juga karena teori ini menarik secara luas sekali dalam membatasi lingkungan berlakunya pertanggungjawaban pidana. Teori ekivalensi ini dapat dipandang sebagai pangkal dari teori-teori lain.
b.    Teori Individualisasi
Teori-teori ini memilih secara post actum (inconcreto), artinya setelah peristiwa kongkrit terjadi, dari serentetan faktor yang aktif dan pasif dipilih sebab yang paling menentukan dari peristiwa tersebut; sedang faktor-faktor lainnya hanya merupakan syarat belaka. Penganut­penganutnya tidak banyak antara lain[22] :
1.        Birkmayer (1885) mengemukakan : sebab adalah syarat yang paling kuat (Ursache ist die wirksamste Bedingung)
2.        Binding. Teorinya disebut (Ubergewichtstheorie)
Dikatakan: sebab dari sesuatu perubahan adalah identik dengan perubahan dalam keseimbangan antara faktor yang menahan (negatif) dan faktor yang positif, dimana faktor yang positif itu lebih unggul. Yang disebut “sebab” adalah syarat-syarat positif dalam keunggulannya (in ihrem Ubergerwicht-bobot yang melebihi) terhadap syarat-syarat yang negatif. Satu-satunya sebab ialah faktor atau syarat terakhir yang menghilangkan keseimbangan dan memenangkan faktor positif itu.
c.    Teori Generalisasi
Teori-teori ini melihat secara ante factum (sebelum kejadian/in abstracto) apakah diantara serentetan syarat itu ada perbuatan manusia yang pada umumnya dapat menimbulkan akibat semacam itu, artinya menurut pengalaman hidup biasa, atau menurut perhitungan yang layak, mempunyai kadar (kans) untuk itu. Dalam teori ini dicari sebab yang adequate untuk timbulnya akibat yang bersangkutan (ad-aequare artinya dibuat sama). Oleh karena itu teori ini disebut teori adequat (teori adequate, Ada-quanzttheorie)[23]. Contoh-contoh tentang ada atau tidaknya hubungan sebab akibat yang adequat :
1.        Suatu jotosan yang mengenai hidung, biasanya dapat mengakibatkan hidung keluar darah. Akan tetapi apabila orang yang pukul itu menjadi buta itu bukan akibat yang adequate. Ini suatu akibat yang abnormal, yang tidak biasa.
2.        Seorang yang menyetir mobil terpaksa mengerem sekonyong-konyong, oleh karena ada pengendara sepeda hendak menyebrang jalan yang membelok, sedang ini tidak disangka-sangka oleh pengendara mobil. Pengendara mobil ini mendapat penyakit trauma karena menekan urat. Dan ini pun dapat dikatakan bahwa perbuatan pengendara sepeda itu tidak merupakan penyebab yang adequate untuk timbulnya penyakit trauma tersebut.
3.        Seorang petani membakar tumpukan rumput kering (hooi), dimana secara kebetulan bersembunyi/tidur seorang penjahat hingga ikut mati terbakar. Adakah pen-sebab-an yang adequate ? Jawabannya tergantung dari keadaan. Jika biasanya menurut pengalaman sehari-hari, tidak timbul akibat semacam itu maka perbuatan petani itu bukanlah sebab. Akan tetapi apabila di daerah itu merupakan kebiasaan orang untuk bersembunyi atau menginap dalam tumpukan rumput, maka perbuatan petani itu benar-benar mempunyai kadar untuk matinya seseorang.
Hal yang merupakan persoalan dalam teori ini ialah : bagaimanakah penentuannya, bahwa suatu sebab itu pada umumnya cocok untuk menimbulkan akibat tertentu itu ? Mengenai hal ini ada beberapa pendirian. Disini disebut antara lain :
1.    Penentuan subyektif (subjective ursprungliche prognose).
Disini yang dianggap sebab ialah apa yang oleh sipembuat dapat diketahui/diperkirakan bahwa apa yang dilakukan itu pada umumnya dapat menimbulkan akibat semacam itu (Von Kries jadi pandangan atau pengetahuan       sipembuatlah yang menentukan).
2.    Penentuan obyektif.
Dasar penentuan apakah suatu perbuatan itu dapat menimbulkan akibat ialah keadaan atau hal-hal yang secara obyektif kemudian diketahui atau pada umumnya diketahui. Jadi bukan yang diketahui atau yang dapat diketahui oleh sipembuat, melainkan pengetahuan dari hakim.
Dasar penentuan (Beurteilungs standpunkte) ini disebut “objektive nachtragliche prognose” (Rumelin).
Sebenarnya dalam teori kausal adequat subyektif (Von Kries) itu tersimpul unsur penentuan tentang kesalahan); oleh karena itu dapat dikatakan bahwa teori adequate subyektif dari von Kries ini bukan teori kausalitas yang murni. Sebab suatu perbuatan baru dianggap sebagai sebab yang adequate apabila sipembuat dapat mengira-ngirakan atau membayangkan (voor zien) akan terjadinya akibat atau kalau orang umumnya membayangkan terjadinya akibat itu; jadi sipembuat dapat membayangkan dan seharusnya dapat membayangkan. Oleh karena dalam ajaran tersebut tersimpul unsur kesalahan, maka ia juga menentukan pertanggunganjawab (pidana), jadi bukan teori kausalitas dalam arti yang sesungguhnya.
Contoh: seorang majikan, yang sangat membenci pekerjanya, tetapi tidak berani melepasnya, ingin sekali agar pekerja itu mati. Pada waktu hujan yang disertai petir ia menyuruh pekerjanya itu pergi ke suatu tempat dengan harapan agar orang itu disambar petir. Harapan itu terkabul dan pekerjanya itu mati disambar petir.
Menurut teori ekivalensi: ya, sebab seandainya pekerja itu tidak disuruh keluar oleh majikan, maka ia tidak mati. Konsekwensi ini umumnya dipandang terlalu jauh. Oleh karena itu lebih memuaskan apabila dipakai teori adequate. Menurut teori ini : perbuatan menyuruh orang ke tempat lain pada umumnya tidak mempunyai kadar untuk kematian seseorang karena disambar petir. Penyambaran petir adalah hal yang kebetulan. Dengan ini maka tidak ada hubungan kausal, sehingga juga tidak ada pemidanaan.
Beberapa penganut teori adequat yang lain[24] :
1. Simons
Dikatakan olehnya : “suatu perbuatan dapat disebut sebagai sebab dari suatu akibat, apabila menuntut pengalaman manusia pada umumnya harus diperhitungkan kemungkinan, bahwa dari perbuatan sendiri akan terjadi akibat itu”.
2. Pompe
Yang disebut sebab ialah perbuatan-­perbuatan yang dalam keadaan tertentu itu mempunyai strekking untuk menimbulkan akibat yang bersangkutan.
Tinjauan terhadap teori-teori kausalitas tersebut di atas : teori ekuivalentie dapat dikatakan teori kausalitas yang benar, akan tetapi selalu diberi suatu penambahan. Teori ini ditambah dengan penentuan ada dan tidaknya unsur kesalahan pada sipembuat, dan memberi keterangan yang cukup memuaskan apakah sesuatu perbuatan itu merupakan sebab dari sesuatu akibat yang dimaksudkan dalam rumusan delik yang bersangkutan.
Mengenai teori adequat dari von Kries, itu dapat juga dikatakan, bahwa teori tersebut sesuai dengan jiwa hukum pidana. Hukum Pidana itu mempunyai tugas untuk melindungi kepentingan hukum terhadap perkosaan dan perbuatan yang membahayakan. Berhubung dengan tugas tersebut maka hukum pidana harus membuat “pagar” terhadap perbuatan-perbuatan yang agaknya mendatangkan kerugian. Dalam hal ini teori adequat dapat menunjukkan perbuatan-perbuatan tersebut. Akan tetapi kelemahan teori ini tidak mudah dalam kenyataan, ia menggunakan istilah-istilah yang tidak terang misalnya biasanya, kadar, pengalaman manusia pada umumnya dan sebagainya.

D. Kesimpulan
Idealisme merupakan suatu paham yang mengedepankan bahwa penampakan dunia fisik pada hakikatnya sudah berada di alam ide. Kebenaran dalam pemikiran Plato adalah berada di alam ide bukan didialogkan seperti halnya Socrates gurunya. Hukum dalam pemikiran Plato terkait dengan pengelolaan pemikiran-pemikiran manusia yang masuk akal yang diputuskan oleh negara, namun ini tidak menjadi hak otoritatif negara dalam membuat hukum.
Teori kausalitas terkait dengan hubungan adanya sebab-sebab tertentu  yang mengakibatkan terjadinya sesuatu. Dalam penegakan hukum teori kausalitas ada tiga macam. Yaitu teori Ekivalensi, teori Individualisasi dan teori Generalisasi. Masing-masing ketiga teori ini saling melengkapi dan menguatkan dalam proses penegakan hukum.

Daftar Pustaka
…….2010, Modul Azaz-azaz Hukum Pidana untuk Diklat Pendahuluan Pendidikan dan Pelatihan Pembentukan Jaksa (PPPJ), Jakarta.
AM. Suhar, 2010,  Filsafat Umum Konsepsi, Sejarah dan Aliran, Gaung Persada Press, Jakarta.
Bakir. Herman, 2009, Filsafat Hukum Desain dan Arsitektur  Kesejarahan, PT. Refika Aditama, Jakarta.
Delfgaauw. Bernard, 1992, Sejarah Singkat Fisafat Barat. Tiara Wacana, Yoyakarta.
Hakim. Abdul. Atang dan Saebani. Ahmad. Beni, 2008, Filsafat Umum dari Metolog sampai Teofilosofi, Pustaka Setia, Bandung.
Prodjohamidjojo. Martin, 1997, Memahami Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, PT. Pradnya Paramita, Jakarta.
Rasjidi. Lili dan Rasjidi. Sonia. Liza, 2012, Dasar-dasar Filsafat dan Teori Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.
Rasjidi. Lili dan Rasjidi. Thania. Ira, 2012, Pengantar Filsafat Hukum, CV. Mandar Maju, Bandung.
S.Praja. Juhaya, 2014, Aliran-aliran Filsafat dan Etika, PT. Kencana Prenadamedia Group,  Jakarta.
S.Praja. Juhaya, 2011, Teori Hukum dan Aplikasinya, CV. Pustaka Setia, Bandung.
Tafsir. Ahmad, 2012, Filsafat Umum Akal dan Hati Sejak Thales sampai Capra, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung.
Fitriah Artina dkk., “Makalah Ajaran Kausalitas dalam Hukum Pidana”, dalam http://fitriahartina011.blogspot.com/2012/10/ajaran-kausalitas- dalahukum-pidana.html. diakses tanggal 01 November 2014.







[1]  Atang Abdul Hakim dan Beni Ahmad Saebani, Filsafat Umum, dari Metolog sampai Teofilosofi, Cetakan 1, (Bandung: Pustaka Setia, 2008), hlm. 15.
[2]  Ibid.
[3]  Konon, orang yang mula-mula sekali menggunakan akal secara serius adalah orang Yunani yang bernama Thales (kira-kira tahun 624-546). Orang inilah yang digelari Bapak Filsafat. Gelar itu diberikan kepadanya karena ia mengajukan pertanyaan yang aneh, yaitu Apakah sebenarnya bahan alam semesta ini? Ia sendiri menjawab air. Setelah itu silih bergantilah filosof sezamannya dan sesudahnya mengajukan jawabannya. Semakin lama persoalan yang dipikirkan oleh manusia semakin luas, dan semakin rumit pula pemecahannya. (Ahmad Tafsir, Filsafat Umum, Akal dan Hati Sejak Thales sampai Capra, Cetakan 19, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya Offset, 2012), hlm. 1.
[4]  Suhar AM, Filsafat Umum Konsepsi, Sejarah dan Aliran, Cetakan 2, (Jakarta: Gaung Persada Press, 2010), , hlm. 1.
[5]  Ibid., hlm. 211.
[6] Juhaya S. Praja, Aliran-aliran Filsafat dan Etika, Cetakan 5, (Jakarta: PT. Kencana Prenadamedia Group, 2014), hlm. 126.
[7]  Bernard  Delfgaauw, Sejarah Singkat Filsafat Barat. (Yoyakarta: Tiara Wacana, 1992),  hlm. 59.
[8]  Ahmad Tafsir, Loc. Cit , hlm. 144.
[9]  Ibid.
[10]  Ibid.
[11]  Ibid., hlm. 57.
[12]  Suhar AM, Loc. Cit., hlm. 218.
[13] Beberapa penulis sejarah filsafat hukum mengungkapkan bahwa Socrates-lah yang mula pertama berfilsafat tentang manusia. Segala aspek tentang manusia menjadi obyek pembicaraannya. Diperkirakan filsafat hukum lahir pada masa ini dan berkembang mencapai puncak kegemilangannya melaluli filsuf-filsuf besar setelah Sokrates, yaitu Plato, Aristoteles, dan filsuf-filsuf lainnya di Zaman Yunani dan Romawi di antara kedua masa tersebut, masa Yunani Merupakan masa yang amat subur bagi pertumbuhan filsafat hukum. Lili Rasjidi dan Ira Thania Rasjidi, Pengantar Filsafat Hukum, Cetakan 6, (Bandung, CV. Mandar Maju, 2012), hlm. 22.
[14]  Herman Bakir, Filsafat Hukum Desain dan Arsitektur  Kesejarahan, Cetakan 2, (Jakarta: PT. Refika Aditama, 2009), hlm.174.
[15]  Ibid., hlm.175-176. Pemikiran tentang tentang negara berdasarkan filsafat dualismenya (dunia fenomena dan dunia eidos). Dalam dunia fenomena terdapat negara-negara yang real dan kurang sempurna, sedangkan dalam dunia eidos terdapat negara ideal. Negara ideal adalah negara teratur secara adil. Juhaya S. Praja, Teori Hukum dan Aplikasinya, Cetakan 2, (Bandung, CV. Pustaka Setia, 2011), hlm. 129-130.
[16] Lili Rasjidi dan Liza Sonia Rasjidi, Dasar-dasar Filsafat dan Teori Hukum, Cetakan 11, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2012), H
lm. 18.
[17]   Herman Bakir, Op. Cit., hlm. 176.
[18] Fitriah Artina dkk., “Makalah  Ajaran  Kausalitas  dalam Hukum Pidana”,  dalam http://fitriahartina011.blogspot.com/2012/10/ajaran-kausalitas-dalam-hukum-pidana.html. diakses tanggal 01 November 2014.
[19]  Teori ini berasal dari  M. von Buri, sarjana Jerman, dalam bukunya Ueber Causalitat und  deren Verantwortung, Lepzig tahun 1973 mengatakan bahwa setiap syarat yang tidak dapat dihilangkan dari pikiran tanpa membuang pikiran hasil terakhir adalah menjadi sebab. Jadi, setiap faktor yang turut serta menjadikan akibat harus dipandang sebagai sebab-sebab yang tidak dapat diabaikan.  Martin Prodjohamidjojo, Memahami Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, Cetakan 1, (Jakarta: PT. Pradnya Paramita, 1997), hlm. 32.
[20] Modul Azaz-azaz Hukum Pidana untuk Diklat Pendahuluan Pendidikan dan Pelatihan Pembentukan Jaksa (PPPJ), (Jakarta: 2010),  hlm. 60.
[21]  Ibid., hlm. 61.
[22]  Ibid., hlm. 62-63.
[23] Ibid., hlm. 64.
[24]  Ibid., hlm. 68-69.

0 komentar:

Posting Komentar