A. Pendahuluan
UUD
1945 yanga mengalami perubahan sampai empat kali yaitu tahun 1999, 2000, 2001
dan 2002 menandakan bahwa undang-undang sejatinya harus mampu memenuhi
kebutuhan dan kondisi zaman, sehingga relevansi dari undang-undang itu sendiri
bisa mengakomodir berbagai kebutuhan yang faktual.
Perubahan
UUD 1945 mengubah secara mendasar ketatanegaraan Republik Indonesia . dengan
perubahan UUD 1945 tersebut tidak dikenal lagi istilah lembaga tertinggi negara
dan lembaga tinggi negara. Semua negara
memiliki kedudukan yang sejajar, baik lembaga legislatif, eksekutif, maupun
lembaga yudikatif. Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang semula memiliki
kedudukan sebagai lembaga negara, dengan adanya perubahan UUD 1945 menjadi
lembaga negara yang kedudukannya sejajar dengan lembaga-lembaga negara lainnya.[1]
Kesetaraan
kedudukan lembaga negara tersebut memerlukan hadirnya lembaga negara baru yang
memperkuat sistem checks and balances
antar lembaga negara, sekaligus menyelesaikan apabila terjadi sengketa antar
lembaga negara bersangkutan. Atas dasar itu muncul pemikiran untuk membentuk
Mahkamah Konstitusi (MK). Setelah melalui pembahasan yang mendalam, pada akhirnya
pemikiran tersebut diakomodasi dalam Perubahan UUD 1945 yang disahkan MPR pada
9 November 2001.[2]
Catatan historis timbulnya negara konstitusional, sebenarnya merupakan
proses sejarah yang panjang dan selalu menarik untuk dikaji. Konstitusi sebagai suatu kerangka
kehidupan politik yang telah disusun melalui dan oleh hukum, yaitu sejak zaman
sejarah yunani, dimana mereka telah mengenal beberapa kumpulan hukum (semacam
kitab hukum). Pada masa kejayaannya (antara tahun 624-404S.M.) Athena pernah
mempunyai tidak kurang dari 11 konstitusi. Koleksi Aristoteles sendiri berhasil
terkumpul sebanyak 158 buah konstitusi dari berbagai negara.[3]
Pemahaman
awal tentang “konstitusi” pada masa itu, hanyalah merupakan suatu kumpulan dari
peraturan serta adat kebiasaan semata-mata. Kemudian pada masa kekaisaran Roma,
pengertian constitutionnes memperoleh
tambahan arti sebagai suatu kumpulan ketentuan serta peraturan yang dibuat oleh
para kaisar atau para preator. Termasuk didalamnya pernyatan-pernyataan
pendapat dari para ahli hukum/negarawan, serta adat kebiasaan setempat,
disamping undang-undang. Konstitusi Roma mempunyai pengaruh cukup besar sampai
abad pertengahan. Dimana konsep tentang kekuasaan tertinggi (ultimate power) dari para Kaisar Roma,
telah menjelma dalam bentuk L’Etat General di Perancis, bahkan kegandrungan
orang Romawi akan ordo et unitas
telah memberikan inspirasi bagi tumbuhnya paham: “Demokrasi perwakilan” dan
“Nasionalisme”. Dua paham inilah merupakan cita bakal munculnya paham
konstitusionalisme modern.[4] Berdirinya Mahkamah Konstitusi di
Indonesia juga tidak terlepas dari historis dari konsep dan fakta adanya judicial review yang terjadi di negara
lain yang mengilhami kebeberapa negara diantaranya Indonesia.
Sejarah
judicial review muncul pertama kali
di Amerika Serikat melalui putusan Supreme
Court Amerika Serikat dalam perkara “Marbury vs Madison” pada 1803.
Walaupun Undang-Undang Dasar Amerika Serikat tidak mencantumkan judicial review, Supreme Court Amerika
Serikat membuat putusan yang mengejutkan. Chief
Justice John Marshall didukung empat hakim agung lainnya menyatakan bahwa
pengadilan berwenang membatalkan undang-undang yang bertentangan dengan
konstitusi. Keberanian John Marshall dalam kasus itu menjadi preseden dalam
sejarah Amerika yang kemudian berpengaruh luas terhadap pemikiran dan praktik hukum
di banyak negara. Semenjak itulah banyak undang-undang federal maupun
undang-undang negara bagian yang dinyatakan bertentangan dengan konstitusi oleh
Supreme Court.[5]
MK
sebagai lembaga, pertama kali diperkenalkan oleh Hans Kelsen (1881-1973), pakar konstitusi dan guru besar
Hukum Publik dan Administrasi University of Vienna. Kelsen menyatakan bahwa
pelaksanaan aturan konstitusional tentang legislasi dapat secara efektif dijamin
hanya jika suatu organ selain badan legislatif diberikan tugas untuk menguji
apakah produk hukum itu konstitusional atau tidak, dan tidak memberlakukannya
jika menurut organ ini produk badan legislatif tersebut tidak konstitusional.
Untuk kepentingan itu, kata Kelsen, perlu dibentuk organ pengadilan khusus
berupa constitutional court, atau
pengawasan konstitutionalitas undang-undang yang dapat juga diberikan kepada
pengadilan biasa. Pemikiran kelseng mendorong verfassungsgerichtshoft di Austria yang berdiri sendiri di luar
Mahkamah Agung. Inilah Mahkamah Konstitusi pertama di dunia.[6]
B. Ide Pembentukan MK Republik
Indonesia dalam UU 1945
Pemikiran
mengenai pentingnya suatu Mahkamah Konstitusi (MK) telah muncul dalam sejarah
ketatanegaraan Indonesia sebelum merdeka. Pada saat pembahasan rancangan UUD di
Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), anggota
BPUPKI Prof. Muhammad Yamin telah mengemukakan pendapat bahwa Mahkamah Agung
(MA) perlu diberikan kewenangan untuk membanding Undang-Undang. Namun ide ini
ditolak oleh Prof. Soepomo berdasarkan dua alasan, pertama UUD yang sedang disusun pada saat itu (yang
kemudian menjadi UU 1945) tidak menganut paham trias politika. Kedua, pada saat
itu jumlah sarjana hukum kita belum banyak dan belum memiliki pengalaman
mengenai hai ini.[7]
Gagasan
Yamin muncul kembali pada proses amandemen UUD 1945. Gagasan membentuk Mahkamah
Konstitusi mengemuka pada siang kedua Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR RI
(PAH I BP MPR), pada Maret – April tahun 2000. Mulanya, MK akan ditempatkan
dalam lingkungan MA, dengan kewenangan melakukan uji materil atas
undang-undang, memberikan putusan atas pertentangan antar undang-undang serta
kewenangan lain yang diberikan
undang-undang. Usulan lainnya, MK diberi kewenangan memberikan putusan atas
persengketaan kewenangan antarlembaga
negara, antar pemerintah pusat dengan pemerintah daerah dan antar pemerintah
daerah. Dan setelah melewati perdebatan panjang, pembahasan mendalam, serta
dengan mengkaji lembaga pengujian konstitusional undang-undang diberbagai
negara, serta mendengarkan masukan berbagai pihak, terutama para pakar hukum
tata negara, rumusan mengenai pembentukan Mahkamah Konstitusi diakomodir dalam
Perubahan Ketiga UUD 1945. Hasil Perubahan Ketiga UUD 1945 itu merumuskan ketentuan mengenai lembaga yang
diberi nama Mahkamah Konstitusi Pasal 24 Ayat (2) dan Pasal 24 UUD 1945.
Akhirnya sejarah MK dalam sistem ketatanegaraan Indonesia dimulai, tepatnya
setelah disahkannya Perubahan Ketiga UUD 1945 Pasal 24 ayat (2), Pasal 24 C dan
Pasal 7B pada 9 November 2001.[8]
Dalam
perkembangannya, ide pembentukan MK dilandasi upaya serius memberikan
perlindungan terhadap hak-hak konstitusional warga negara dan semangat
penegakan konstitusi sebagai grundnorm
atau highest norm, yang artinya
segala peraturan perundang-undangan yang berada dibawahnya tidak boleh bertentangan
dengan apa yang sudah diatur dalam konstitusi. Konsitusi merupakan
bentuk pelimpahan kedaulatan rakyat (the
soverreignity of the people) kepada negara, melalui konstitusi rakyat
membuat statement kerelaan pemberian sebagian hak-haknya kepada negara. Oleh
karena itu, konstitusi harus dikawal dan dijaga. Sebab, semua bentuk
penyimpangan, baik oleh pemegang kekuasaan maupun aturan hukum di bawah
konstitusi terhadap konstitusi, merupakan wujud nyata pengingkaran terhadap
kedaulatan rakyat.[9]
Ini mengimplikasikan agar pelaksanaan kedaulatan rakyat melalui konstitusi
harus dikawal dan dijaga. Agar konstitusi
sebagai perwujudan kedaulatan rakyat tidak disalahgunakan.
Apabila
ditelaah lebih lanjut, pembentukan MK didorong dan dipengaruhi oleh kondisi
factual yang terjadi pada saat itu. Pertama,
sebagai konsekuensi dari perwujudan negara hukum yang demokratis dan negara
demokrasi yang berdasarkan hukum. Kenyataan menunjukan bahwa suatu keputusan
yang dicapai dengan demokratis tidak
selalu sesuai dengan ketentuan UU yang berlaku sebagai hukum tertinggi. Oleh
karena itu, diperlukan lembaga yang berwenang
menguji konstitusionalitas undang-undang. Kedua, pasca perubahan kedua dan ketiga UUD 1945 telah mengubah relasi
kekuasaan dengan menganut sistem pemisahaan kekuasaan (separation of powers) berdasarkan prinsip checks and balances.
Jumlah lembaga negara dan segenap ketentuannya yang membuat potensi besar
terjadinya sengketa antar lembaga negara. Sementara itu, perubahan paradigm
supremasi MPR ke supremasi konstitusi, membuat tidak ada lagi lembaga tertinggi
negara yang berwenang menyelesaikan sengketa antarlembaga negara. Oleh karena
itu diperlukan lembaga tersendiri untuk menyelesaikan sengketa tersebut.
Ketiga, kasus pemakzulan (impeachment)
Presiden Abdurrahman Wahid oleh MPR pada Sidang Istimewa MPR pada 2001, mengilhami
untuk mencari mekanisme hukum yang digunakan dalam proses pemberhentian
presiden dan/atau wakil presiden agar tidak semata-mata didasarkan atas politis
semata. Untuk itu, disepakati perlunya lembaga hukum yang berkewajiban menilai
terlebih dahulu pelanggaran hokum yang dilakukan presiden dan/atau wakil
presiden yang dapat menyebabkan presiden dan/atau wakil presiden diberhentikan
dari masa jabatannya.
Pembentukan
mahkamah konstitusi diperlukan untuk menegakkan prinsip negara hukum Indonesia
dan prinsip konstitusionalisme. Artinya tidak boleh ada undang-undang dan
peraturan perundang-undangan lainnya yang bertentangan dengan undang-undang
dasar sebagai puncak dari tata urutan perundang-undangan di Indoonesia. Dalam
rangka pengujian undang-undang terhadap undang-undang dasar dibutuhkan sebuah
mahkamah dalam rangka menjaga prinsip konstitusionalitas hukum. Tugas mahkamah
konstitusilah yang menjaga konstitusionalitas hukum itu.[10]
Pembentukan mahkmah konstitusi juga
terkait dengan penataan kembali dan reposisioning lembaga-lembaga negara yang
sebelum perubahan UUD 1945 berlandaskan pada supremasi MPR sebagai lembaga
tertinggi negara. Perubahan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 yang sebelum perubahan
berbunyi “Kedaulatan adalah ditangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh
Majelis Permusyawaratan Rakyat”, diubah menjadi “Kedaulatan berada ditangan
rakyat dan dilaksanakan menurut undang-undang dasar”, telah membawa implikasi
yang sangat luas dan mendasar dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Artinya,
sebelum perubahan, kedaulatan rakyat berpuncak pada MPR, dan MPR-lah sebagai
penyelesaian final atas setiap masalah ketatanegaraan yang muncul baik atas
konstitusionalitas dari suatu undang-undang maupun penyelesaian akhir sengketa
antar lembaga negara. Dengan dasar konsepsional inilah ketetapan MPR RI No. III
Tahun 2000 menentukan bahwa pengujian undang-undang terhadap undang-undang
dasar dilakukan oleh MPR dan setiap lembaga negara melaporkan penyelenggaraan
kinerjanya kepada MPR setiap tahun. Implikasi perubahan Pasal 1 ayat (2)
tersebut, posisi MPR sejajar dengan lembaga-lembaga negara lainnya dan
masing-masing lembaga negara adalah pelaksana kedaulatan rakyat sesuai tugas
dan kewenangannya yang ditentukan undang-undang dasar. Dengan demikian MPR
melaksanakan kedaulatan rakyat untuk mengubah dan menetapkan undang-undang
dasar, melantik presiden dan wakil presiden, memberhentikan presiden dan/atau
wakil presiden sesuai ketentuan undang-undang dasar, serta dalam hal-hal
tertentu mengangkat presiden dan/atau wakil presiden. Mahkamah konstitusi
merupakan pelaksana kedaulatan rakyat untuk menguji konstitusionalitas
undang-undang terhadap undang-undang dasar, memutus sengketa kewenangan antara
lembaga negara yang kewenangannya diatur dalam undang-undang dasar, memutus
sengketa pemilihan umum serta memutus pembubaran partai politik. Demikian juga
lembaga negara yang lainnya adalah pelaksana kedaulatan rakyat sesuai tugas dan
wewenangnya yang ditentukan dalam undang-undang dasar.[11]
C. Penyusunan UU MK Republik Indonesia No. 24
Tahun 2013
Sejarah
berdirinya MK diawali dengan Perubahan Ketiga UUD
1945 dalam Pasal 24
ayat (2), Pasal 24C, dan Pasal 7B yang disahkan pada 9 November
2001.
Setelah disahkannya Perubahan Ketiga UUD 1945, maka dalam rangka menunggu
pembentukan Mahkamah Konstitusi, MPR menetapkan Mahkamah Agung menjalankan
fungsi MK untuk sementara sebagaimana diatur dalam Pasal III Aturan Peralihan
UUD 1945 hasil Perubahan Keempat.[12]
Sesuai Pasal 24C UUD 45, Mahkamah Konstitusi memiliki lima kewenangan yaitu
menguji undang-undang terhadap UUD (judicial review/materieele
toetsengrecht), memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang
kewenangannya diberikan oleh UUD, memutus pembubaran parpol, memutus sengketa
hasil pemilu, dan memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan
pelanggaran oleh presiden/wakil presiden. Akhirnya, pada Sidang Tahunan MPR 10
Agustus 2002 disahkan Amandemen Keempat UUD 1945 yang dalam Pasal III Aturan
Peralihan diatur bahwa Mahkamah Konstitusi dibentuk selambat-lambatnya pada 17
Agustus 2003 dan sebelum dibentuk segala kewenangannya dilakukan oleh MA.[13]
Kemudian, pada 16 Oktober 2002 Ketua Mahkamah Agung Bagir Manan
menandatangani Peraturan MA (Perma) No.2 Tahun 2002 tentang Tata Cara
Penyelenggaraan Wewenang Mahkamah Konstitusi oleh Mahkamah Agung. Dalam Perma
tersebut, MA sudah mulai menyusun hukum acara Mahkamah Konstitusi.[14]
Di saat yang sama, DPR tengah menyusun RUU tentang Mahkamah Konstitusi yang
dimotori oleh Ketua Badan Legislasi DPR Zain Badjeber. Zain mengatakan proses
penyusunan RUU Mahkamah Konstitusi sudah mulai dirintis Baleg sejak Perubahan
Ketiga UUD 45 disahkan. Namun, ia mengakui penyusunan RUU sempat terhenti
menjelang dikeluarkannya Perma No.2/2002. RUU Mahkamah Konstitusi kemudian
diajukan ke pimpinan DPR pada 15 November 2002 sebagai usul inisiatif Baleg.
Pada tanggal 23 Januari 2003 rapat paripurna DPR menerima usul inisiatif ini
menjadi usul DPR. Namun, usul DPR ini terpendam di DPR sampai 13 Mei 2003 dan
kemudian baru dibentuk Pansus DPR. ternyata, meski sudah terbentuk pansus
RUU-nya sendiri belum dikirim ke pemerintah.[15]
Akhirnya, tanggal 18 Mei Presiden mengirim surat amanat presiden (Ampres)
menunjuk Menteri Kehakiman dan HAM dan Jaksa Agung untuk membahas RUU Mahkamah
Konstitusi bersama pansus. Hal yang menarik, menurut Zain, isi Ampres tersebut
tidak lazim. Pasalnya, di dalam surat itu presiden memberikan catatan panjang
lebar mengenai RUU yang akan dibahas.[16]
Sebagai tindak lanjut pengaturan mengenai MK di dalam UUD,
pemerintah dan DPR membahas pembentukan UU mengenai MK. UU ini selesai disusun
dan disahkan pada tanggal 13 Agustus 2003 menjadi UU Nomor 24 Tahun 2003
tentang MK. Tanggal 13 Agustus 2003 inilah yang disepakati oleh hakim konstitusi
menjadi waktu dibentuknya MK dan setiap tanggal 13 Agustus ditetapkan sebagai
Hari Ulang Tahun (HUT) MK.[17]
Sembilan hakim konstitusi
yang pertama kali dalam sejarah Indonesia ditetapkan pada tanggal 15 Agustus
2003 dengan Keputusan Presiden Nomor 147/M Tahun 2003. Pengucapan sumpah
jabatan kesembilan hakim dilakukan di Istana Negara pada tanggal 16 Agustus
2003 disaksikan oleh Presiden Megawati Soekarnoputri. Sesuai ketentuan UUD,
tiga hakim konstitusi berasal dari usul DPR, tiga hakim konstitusi berasal dari
usul MA, dan tiga hakim konstitusi berasal dari usul Presiden. Konfigurasi
sumber rekrutmen hakim konstitusi dari tiga cabang kekuasaan negara tersebut
mencerminkan keseimbangan dan keterwakilan tiga cabang kekuasaan negara
tersebut di dalam tubuh MK sebagai lembaga pelaksana kekuasaan kehakiman yang
memperkuat sistem checks and balances antarcabang kekuasaan negara
(eksekutif, legislatif, dan yudikatif).[18]
D. Perkembangan Awal Peradilan Konstitusi
(2003-2008)
Berpijak
pada Pasal 24 UUD 1945, Mahkamah Konstitusi
adalah lembaga negara yang menjalankan kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan
guna menegakkan hukum dan keadilan.
Kewenangan Mahkamah Konstitusi ditentukan
dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 juncto Pasal 10 ayat (1) Undang Undang
Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
(UU MK), yakni mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang
putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa
kewenangan lembaga negara yang
kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan
memutus perselisihan tentang hasil
pemilihan umum.
Selain
itu, Mahkamah Kontitusi memiliki satu kewajiban
sebagaimana ditentukan dalam Pasal 24C ayat (2) UUD 1945 juncto Pasal 10
ayat (2) UU MK, yakni memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat
(DPR) bahwa Presiden dan/atau Wakil
Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan
terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela,
dan/atau tidak lagi memenuhi syarat
sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945. Kewajiban
itu lebih dikenal sebagai kewajiban untuk memutus impeachment.
Sejak
berdirinya Mahkamah Konstitusi pada 13 Agustus 2003 hingga berakhirnya masa bakti hakim
konstitusi periode 2003–2008 pada 15
Agustus 2008, Mahkamah Konstitusi telah melaksanakan tiga kewenangannya yakni menguji undang-undang
terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara
yang kewenangannya diberikan oleh
Undang-Undang Dasar, dan memutus
perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Adapun untuk perkara
pembubaran partai politik dan impeachment
Presiden dan/atau Wakil Presiden, sampai
saat ini Mahkamah Konstitusi belum memeriksa
perkara itu karena belum ada perkara jenis tersebut yang diajukan.[19]
Total perkara yang ditangani Mahkamah Konstitusi pada
tahun 2008, per 7 April 2008 sebanyak 21 perkara yang terdiri dari 17 perkara
untuk pengujian undang-undang
dan 4 perkara untuk sengketa kewenangan lembaga negara. Dari 21 perkara
tersebut terdapat 13 perkara (61,90%) yang telah diputus dan 8 perkara (38,10%)
masih dalam proses pemeriksaan.[20]
Adapun untuk rincian perkara yang masuk sejak 2003 sampai
dengan 2008 yaitu untuk permohonan pengujian UU terhadap UUD 1945 yang
teregistrasi di MK sampai 7 April 2008 adalah sebanyak 140 perkara. Dari
sejumlah perkara itu, terdapat 132 perkara (94,29%) yang telah diputus oleh MK
dan sisanya yakni sebanyak 8 perkara (5,71%) masih dalam tahap pemeriksaan
dengan beberapa perkara direncanakan akan diputus dalam waktu tidak lama lagi.
Telah diputusnya sebagian besar perkara dan hanya tersisa sekitar sepersepuluh
jumlah perkara yang masuk menunjukkan bahwa MK dipandang memiliki kinerja cukup
tinggi.[21]
Secara garis besar 132 putusan MK tersebut terbagi kepada
beberapa kategori, yaitu 37 perkara (28,03%) yang permohonannya dikabulkan; 79
perkara (59,84%) yang permohonannya ditolak atau yang tidak dapat diterima; 14
perkara (10,61%) ditarik kembali oleh pemohon, dan dua perkara (1,52%) bukan
merupakan kewenangan Mahkamah Konstitusi. Data ini antara lain menunjukkan
bahwa terdapat hampir sepertiga jumlah pemohon telah dengan tepat menyusun
permohonannya dalam pengertian isi permohonan pengujian UU yang diajukannya
dapat dibuktikan memang bertentangan dengan UUD 1945. Ini menunjukkan bahwa
mereka memiliki pengetahuan dan kesadaran konstitusi yang cukup memadai.[22]
Dalam setiap bulannya, rata-rata Mahkamah Konstitusi
menghasilkan 2,7 putusan. Waktu yang dibutuhkan untuk memutus satu perkara
bervariasi mulai kurang dari satu bulan hingga 8,4 bulan. Perkara yang membutuhkan waktu paling
lama tersebut adalah PUU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi karena banyaknya
keterangan pemohon, saksi, ahli, dan pihak terkait yang harus didengar dalam
persidangan. Sedangkan untuk perkara perselisihan hasil Pemilu 2004, MK
telah memutus 252 perkara yang diajukan oleh 23 partai politik, 21 perkara yang
diajukan calon anggota DPD, dan sebuah perkara yang diajukan pasangan calon
Presiden dan Wakil Presiden. Putusan MK terhadap 252 perkara yang diajukan
partai-partai politik itu .permohonan ditolak sebanyak 135 perkara (49,27%),
permohonan tidak dapat diterima sebanyak 89 perkara (32,48%) dan 9 perkara
(3,28%) ditarik kembali oleh Pemohon. Data ini antara lain menunjukkan bahwa
setengah lebih partai politik yang menjadi Pemohon tidak memiliki dalil yang
dapat dibuktikan di dalam sidang. Mereka hanya memenuhi persyaratan
administratif, permohonannya menjadi kewenangan MK, dan signifikan pengaruhnya
terhadap posisi yang ada (jika dikabulkan) tetapi tidak didukung data sahih.
Seiring dengan itu hanya 15% pemohon yang benar-benar memenuhi semua persyaratan
agar permohonan diterima, termasuk memiliki dalil yang dapat dibuktikan di
dalam sidang. Putusan
MK terhadap perkara yang diajukan oleh partai politik telah membawa implikasi
terhadap perolehan kursi DPR oleh partai politik di mana terdapat partai politik
yang kehilangan kursi, seperti Partai Golkar (kehilangan 1 kursi DPR) dan
Partai Demokrat (kehilangan 2 kursi DPR), di sisi lain terdapat partai politik
yang mendapat tambahan kursi, seperti Partai Bintang Reformasi (tambahan 1
kursi DPR) dan Partai Pelopor (tambahan 2 kursi DPR). Dari
21 perkara yang diajukan calon anggota DPD, hanya satu perkara yang dikabulkan
permohonannya oleh MK dan mempengaruhi penetapan calon anggota DPD, yakni
permohonan Achmad Chalwani dari Provinsi Jawa Tengah yang menyebabkan perubahan
posisi di mana Achmad Chalwani terpilih menjadi anggota DPD menggantikan Dahlan
Rais yang semula ditetapkan KPU sebagai anggota DPD. Data ini menunjukkan bahwa
sebagian besar Pemohon (95%) mengajukan permohonan tanpa didukung data yang sahih,
kuat, dan signifikan dalam mengajukan keberatannya atas hasil penghitungan
suara yang dilakukan KPU.
MK juga telah memproses dan mengambil putusan terhadap
satu-satunya permohonan dalam perselisihan hasil Pemilu Presiden dan Wakil
Presiden 2004, yang diajukan oleh pasangan calon Presiden dan Wakil
Presiden Wiranto dan Salahuddin Wahid. Pasangan ini mengajukan permohonan bahwa
penghitungan suara yang dilakukan KPU tidak akurat karena terdapat sekitar lima
juta suara pendukung mereka yang hilang. Namun dalam persidangan MK, data yang
diajukan Pemohon tidak dapat dibuktikan dan pada puncaknya MK memutuskan untuk
menolak permohonan Pemohon karena dalil yang diajukan tidak terbukti.
Melalui penyelesaian sengketa hasil Pemilu, MK telah
membawa perkara-perkara yang bersifat politis untuk diselesaikan melalui
mekanisme hukum sehingga menghindarkan kemungkinan terjadinya aksi kekerasan
di jalanan atau lobi-lobi politik. Hal itu juga merupakan perwujudan dari
supremasi hukum dan penegasan bahwa Indonesia adalah negara berdasar hukum.
Walaupun untuk pertama kalinya MK melaksanakan tugas konstitusionalnya memutus
perkara perselisihan hasil Pemilu, namun berbagai putusan MK mengenai perkara
ini dapat diterima secara luas, tidak hanya oleh pemohon dan termohon, juga
konstituen dan para pendukung/massa partai politik. Hal ini terbukti dengan
sangat minimnya tanggapan negatif yang menggugat atau menentang putusan itu,
termasuk melalui aksi unjuk rasa yang biasanya mengiringi putusan-putusan
berkaitan dengan partai politik. Fenomena ini menunjukkan bahwa MK dipandang
telah menampilkan kinerja memuaskan dengan menjatuhkan putusan yang adil dan
benar.[23]
Dalam konteks demokratisasi, penyelesaian perselisihan
hasil Pemilu 2004 oleh MK secara memuaskan tanpa ada gejolak di tingkat elit
maupun massa menunjukkan bahwa MK telah berhasil mengawal proses demokratisasi
di tanah air. Kinerja MK yang demikian baik tersebut menjadi salah satu faktor
signifikan bagi terwujudnya situasi dan kondisi yang kondusif bagi dimulainya
pelaksanaan tugas lembaga-lembaga negara yang dibentuk berdasarkan hasil Pemilu
2004 (DPR, DPD, DPRD, dan Presiden/Wakil Presiden) secara lancar dan tertib.
Untuk perkara sengketa kewenangan lembaga negara, MK telah menerima 10
permohonan perkara. Dari sepuluh perkara itu telah diputus 10 perkara, yang
terdiri dari 2 perkara ditolak, 5 perkara tidak diterima, dan 3 perkara lagi
ditarik kembali. Salah satu perkara
sengketa kewenangan lembaga negara diajukan oleh Ketua Dewan Perwakilan Daerah
(DPD) RI Prof. Dr. Ir. Ginandjar Kartasasmita. DPD mengajukan permohonan
sehubungan dengan terbitnya keputusan Presiden Megawati tentang pengangkatan
Anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) periode 2004-2009. Permohonan ini
disebabkan DPD merasa hak konstitusionalnya dilanggar karena pengangkatan itu
tidak dilakukan dengan memperhatikan pertimbangan DPD sebagaimana diatur UUD
1945. Setelah melakukan persidangan beberapa kali, akhirnya MK mengeluarkan
putusan berisi penolakan permohonan Pemohon. Perkara ini merupakan perkara pertama
yang diperiksa, diadili, dan diputus oleh MK. Penyelesaian sengketa kewenangan
antarlembaga negara yang diputus oleh MK dengan mekanisme hukum yang tersedia
telah menghindarkan terjadinya konflik politik antarlembaga negara yang
berkepanjangan dan instabilitas politik yang merugikan kepentingan negara dan
bangsa.[24]
E. Daftar Pustaka
1. Buku dan Makalah
-------------------,
Ikhtisar Putusan Mahkamah Konstitusi 2003-2008.
-------------------,
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Asshiddiqie,
Jimly, (18 Juni 2012). Sejarah
Constitutional Review dan Gagasan Pembentukan Mahkamah Konstitusi. Makalah,
Jakarta.
Asshiddiqie,
Jimly, (19 April 2008). Mahkamah
Konstitusi dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia. Makalah, Bandung.
M. Gaffar,
Janedjri, Kedudukan, Fungsi dan Peran
Mahkamah Konstitusi dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia.
Makalah.
Nurcahyanto,
Agung Nahdhi, Sejarah Terbuntiknya
Mahkamah Konstitusi Indoesia Sebagai Pengawal Konstitusi, Makalah.
Thaib,
Dahlan dkk, ( Juni 2002). Teori dan Hukum
Konsitusi, Jakarta: PT. Rajagrafindo.
2. Internet
www.hamdanzoelva.wordpress.com
[1] Jimmly Asshidiqie, Pengantar dalam Ikhtisar Putusan MK
2003-2008, h., vii.
[2] Ibid.
[3] Dahlan Thaib, Jazim Hamidi, Ni’matul
Huda, Teori dan Hukum Konstitusi, PT.
Rajagrafindo Persada, Jakarta: 2012, Cet. 10, h. 2.
[4] Ibid.
[5] Janedjri M. Gaffar, Kedudukan, Fungsi, dan Peran Mahkamah
Konstitusi dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia, Makalah, h. 3.
Lihat juga makalah Jimly Asshiddiqie, Sejarah Constitutional Review dan Gagasan
Pembentukan Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Senin, 18 Juni 2012.
[6] Ibid.,
h. 4.
[7] Jimly Asshiddiqie, Mahkamah Konstitusi dalam Sistem
Ketatanegaraan Republik Indonesia, (Ceramah pada Pendidikan Sespati dan
Sespim Polri, Bandung, 19 April 2008 dalam bentuk makalah), h., 12. Dalam makalahnya Jenedjri M. Gaffar
(Sekretaris Jenderal MK) usulan Yamin disanggah Soepomo dengan empat alas an
bahwa (i) konsep dasar yang dianut dalam
UUD yang tengah disusun bukan
konsep pemisahan kekusaaan (separation of
power) melainkan konsep pembagian kekuasaan (distribution of power), selain itu, (ii) tugas hakim adalah
menerapkan undang-undang, bukan menguji undang-undang, (iii) kewenangan hakim
untuk melakukan pengujian undang-undang
bertenatangan dengan konsep supremasi Majelis Permusyawaratan Rakyat, dan (iv)
sebagai Negara yang baru merdeka belum
memiliki ahli-ahli mengenai hal tersebut serta pengalaman mengenai yudicial
review. Akhirnya ide itu urung diadopsi dalam UUD 1945.
[8] Janedjri M. Gaffar, Kedudukan, Fungsi, dan Peran Mahkamah
Konstitusi dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia, Op. cit., h. 5-6.
[9]
Ibid., h., 7.
[10] http://hamdanzoelva.wordpress.com /2008 /04 /07/ mahkamah
- konstitusi - dalam - sistem-ketatanegaraan-ri/ (diakses, 12 Maret 2014).
[11] Ibid.
[12] Agung Nadhi Nurcahyanto, Sejarah Terbentuknya Konstitusi Indonesia
Sebagai Pengawal Konstitusi, Makalah, h. 16.
[13] Ibid.,
h. 14.
[14]
Ibid.
[15]
Ibid.
[16]
Ibid.
[17] Jimly Asshiddiqie, Mahkamah Konstitusi dalam Sistem
Ketatanegaraan Republik Indonesia, Op. cit h.14.
[18] Ibid.
[19] Janedjri M. Gaffar, Ikhtisar Putusan Mahkamah Konstitusi
2003-2008, h. v-vi.
[20] Jimly Asshiddiqie, Mahkamah Konstitusi dalam Sistem
Ketatanegaraan Republik Indonesia, Op. cit. h. 15.
[21] Ibid.
[22]
Ibid., h. 16.
[23] Ibid.
[24] Ibid.
0 komentar:
Posting Komentar