Para Kontestan Politik yang Semakin Nyentrik

Hiruk pikuk pencalonan para wakil rakyat sudah mulai marak, para kontestan pun mulai melebarkan sayapnya untuk mencari simpati rakyat yang lebih jauhnya  mendapatkan dukungan. Mengatas namakan demi kesejahteraan rakyat para calon pemimpinpun mulai tumbuh subuh seperti jamur dimusim hujan. Berbagai gaya dan model pemimpin  di tampilkan seolah-olah mereka bisa mengatasi berbagai masalah yang sedang terjadi. Inikah yang dinamakan demokrasi  semua orang boleh beraksi. Terlepas dari semua itu bahwa memang pemimpin mempunyai peranan yang sangat besar untuk kesejahteraan rakyatnya begitu juga kesengsaraan rakyatnya. Diibaratkan dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan. Namun tidaklah mudah untuk menjadi pemimpin yang mampu mendedikasikan diri untuk kepentingan rakyat perlu adanya kesiapan yang prima, bekal ilmu, pengalaman yang memadai dan yang tidak kalah pentinggnya  adalah niat untuk menjadi pemimpin. Hal ini karena menyangkut tanggung jawab seorang pemimpin yang sangat besar sekali. 
Kalau kita sedikit membuka lembaran-lembaran sejarah pada zaman sahabat Nabi, bahwa ketika sahabat diberikan kepemimpinan maka yang dikatakannya adalah musibah, yang menunjukan bahwa sahabat memaknai kepemimpinan sebagai amanah yang harus dilaksanakan dengan sebaik mungkin, yang mana amanah tersebut akan dimintai pertanggungjawaban baik di dunia maupun di akhirat. Sehingga kecenderungan untuk menyelewengkan kewenangan dapat dihindari. 
Komparasikan dengan kondisi saat ini dimana orang-orang berebut dengan berbagai macam cara untuk menduduki posisi sebagai pemimpin, yang seolah-olah kursi kepemimpinan itu sudah dimaknai sebagai ladang bisnis transaksipun menjadi hal biasa. Sehingga nilai dasar dari suatu jabatan atau kepemimpinan sudah tidak berarti. Jadi secara tidak langsung memutar balikan paradigma yang dulunya pemimpin sebagai pelayan sekarang sebagai yang dilayani.
Melihat dari gejala seperti ini nampaknya perlu diperhatikan beberapa poin di antaranya:
Pertama, harus ibda binafsi bahwa kepemimpinan yang baik dimulai dari pribadi-pribadi yang baik yang nantinya bisa membawa keluarga, masyarakat, dan lebih luasnya negara.  
Kedua, dalam kondisi seperti sekarang dimana sangat  sulit untuk membedakan mana pemimpin yang baik dan  tidak, karena salah satunya penngaruh media yang sangat gencar menapilkan berbagai model pemimpin, maka perlu kehati-hatian yang eksta untuk memilihnya (ekstra sekektif). Jangan mudah terpengaruh dengan bujukan dan janji-janji yang manis, tetapi pahamilah secara realistis dan rasional. 
Ketiga, perlu adanya dukungan yang sifatnya kontruktif artinya dukungan yang memberikan saran atau kritik demi kebaikan bersama, bukan yang destruktif yang memberikan partisifasi tetapi dengan tujuan melemahkan atau menghancurkan.  
Keempat, mungkin ini yang sering terlupakan bahwa kita harus bersama-sama saling mendoakan antara pemimpin dan rakyat. Karena pemimpin yang baik adalah yang mendoakan rakyatnya begitu juga rakyat mendoakan mepimpinnya, bukan yang saling melaknat.

Inilah sedikit ungkapan penulis memahami kondisi  sekarang.


Adakah Keadilan dan Kedamaian untuk Para Binatang?


Selamat berjumpa kawan..... kau pejuang tanpa mendapatkan penghormatan kau dedikasikan seluruh hidupmu  demi suatu pengabdian. Kau dikurung dalam ketidaknyaman......tapi kau tetap tersenyum dan menggembirakan. Kau telah mengingatkan ku akan anugrah yang Maha Kuasa berikan yaitu kebebasan. Tapi kadang kebebasan membuat seseorang berlaku sewenang-wenang. Adakah kedamaian dan keadilan untukmu wahai binatang...? manusia kebanyakan hanya mengekploitasimu secara sembarangan.............kau hanya dijadikan sebagai tontonan tanpa memperhatikan kesejahteraan kau di dalam sangkar... Padalah kau sama seperti makhluk lainnya ingin bebas tanpa ada yang menindas.......tapi sabarlah kawan kau makhluk yang sangat menawan kau mampu memberikan kesan dan manfaat bagi orang..........


Catatan orang yang kurang Ilmu, pengalaman dsb. tetapi ingin tetap belajar. #Kebon Binatang Bandung#26/04/2013

Sambutan Pohon Rindang

Ketika ku datang kau sapa aku dengan keheningan dan kesejukan, sambutanmu penuh dengan kedamaian dan persahabatan.... kau tak peduli siapa yang datang namun kau tetap ramah dan sopan....kau biarkan orang-orang lalu lalang di depan dan belakang, namun kau tetap diam tandanya kau adalah sang penyabar............. Oh sahabatku yang rindang, selamat tinggal mudah-mudahan kita bisa berjumpa kembali seperti sekarang.............

Catatan orang yang kurang Ilmu, Pengalaman dsb. Namun tetap ingin belajar.....Kebon Binatang Bandung. 26/04/13.


Selayang Pandang Tentang Pribadi

SAYA dilahirkan pada tanggal 04 Januari 1989 tepatnya pada hari Rabu, menurut sebagian keterangan bahwa hari Rabu hari diciptakannya cahaya. yang secara umum bahwa sifat yang melekat pada cahaya menerangi dan mudah-mudahan diri saya menjadi penerang khususnya untuk diri pribadi dan umumnya untuk orang lain. Inilah yang menjadi dambaan hidup saya dimuka bumi tiada lain sebagaimana yang disabdakan Rasulullah SAW bahwa "Sebaik-baiknya orang adalah orang yang bermanfaat bagi orang lain". Walaupun saya menyadari bahwa saya bukalah siapa-siapa, dan sayapun tidak punya apa-apa, dibandingkan dengan orang lain yang punya banyak apa-apa. Namun terlepas dari semua itu saya mencoba untuk belajar mensyukuri nikmat yang telah di Anugrahkan sang Khalik, yang mana selama ini merasa banyak mendustakan nikmat yang telah dianugrahkan. Sebagian nikmat yang tidak disadari adalah nikmat Iman, Islam, dan Kesehatan. Inilah nikmat yang sering terlupakan. Mungkin kita terlalu silau dengan kehidupan yang penuh patamorgana ini. Padahal orang beriman itu dikatakan sebaik-baiknya manusia. Kenapa sebutan dari Yang Maha Kusa tersebut tidak dijadikan spirit untuk hidup lebih optimis menatap masa depan yang cerah, sehingga kenapa sering banyak mengeluh menjalani hidup ini. Sebagai mana kata WS Rendra Hidup ini bukanlah untuk mengeluh dan mengadu, hidup adalah untuk mengolah diri.......... . Atas semua nikmat yang begitu agung yang mungkin sulit  di uraikan dengan kata-kata, saya bertekad untuk berusaha mengabdikan diri, paling tidak untuk diri pribadi (ibda binafsi) dan mudah-mudahan dapat bermanfaat untuk orang lain. Amiiin.
"Bukan Seberapa Banyak Nikmat yang Telah di Anugrahkan, tetapi Seberapa Banyakkah Mensyukurinya". 

Catatan orang yang kurang Ilmu, Pengalaman, wawasan dsb. Tetapi ingin tetap belajar (Long Life Education), ditulis di dalam kamar yang sempti (Naiki) tetapi ajaibnya tidak membuat hati sempit. 30/04/2013


IKHTISAR : Negara Islam Menurut Muhammad Asad.

Penelitian ini bertolak dari beragamnya pemikiran mengenai konsep negara Islam. Salah satu yang menarik adalah Muhammad Asad yang berpendapat bahwa sebuah negara yang dihuni mayoritas atau bahkan seluruhnya muslim tidak selalu identik dengan negara Islam, ia dapat menjadi benar-benar Islam dengan berdasarkan aplikasi sadar akan ajaran sosial politik Islam dengan kehidupan bangsa dan oleh penggabungan yang prinsip dalam konstitusi dasar negara. Sehingga dengan konsep seperti itu negara yang mayoritas penduduknya muslim tidak serta merta disebut negara Islam kecuali ada penggabungan yang prinsip ke dalam konstitusi dasar negara.
Tujuan penelitian ini adalah  untuk menggambarkan pemikiran Muhammad Asad mengenai: pandangan tentang negara Islam, argumen yang digunakan, tujuan negara Islam, serta bentuk negara dan bentuk pemerintahan negara Islam.
Penelitian ini dilakukan dengan metode  analisis isi (content analyses) dalam bentuk studi tokoh, yaitu memaparkan pemikiran tokoh dalam hal ini adalah Mumammad Asad yang pemikirannya tertuang dalam buku-bukunya, salah satu bukunya yang diteliti berjudul The Principles of State and Government in Islam. Analisis isi dilakukan dengan tahapan sebagai berikut: 1) mengungkapkan pendapat Muhammad Asad mengenai negara Islam, 2) mengklasifikasikan data tersebut berdasarkan pada tujuan penelitian, 3) menafsirkan data. Sehingga dengan demikian diharapkan dapat memperoleh informasi lebih mendalam mengenai  pendapat Muhammad Asad tentang negara Islam.
Data yang ditemukan menunjukan kesimpulan bahwa (1) negara Islam adalah negara yang di dalamnya secara sadar menjalankan ajaran sosial politik Islam dalam kehidupan bangsa dan dengan jalan menyatukannya ke dalam konstitusi dasar negara; (2) dalam negara sekuler modern, tidak ada norma yang tetap yang dapat dipakai untuk menilai antara yang baik dan buruk, dan antara benar dan salah. Satu-satunya kriteria adalah kepentingan bangsa (nation’s interest). Sedangkan dalam negara Islam terdapatnya nilai-nilai norma yang tidak berubah dari kasus ke kasus atau dari waktu ke waktu tetapi validitasnya tetap bertahan untuk setiap saat dan segala kondisi ( for all times and all conditions); (3) tujuan negara Islam adalah meningkatkan sebuah komunitas atau masyarakat yang didasari oleh persamaan dan keadilan, menyuruh orang berbuat baik dan melarang orang berbuat jahat, atau meletakan sebuah komunitas umat yang bekerja untuk menciptakan kondisi-kondisi sosial untuk memperoleh kehidupan yang lebih mulia, baik moral maupun fisik berdasarkan syari’at Islam; (4) syari’at Islam tidak menentukan bentuk tertentu mengenai bentuk negara dan bentuk pemerintahan Islam namun syari’at meletakan prinsip-prinsip dasar yang dapat disesuaikan dalam berbagai kondisi.

Pendapat penulis terhadap pemikiran Muhammad Asad mengenai negara Islam adalah Asad mampu memberikan penjelasan-penjelasan mengenai ajaran Islam yang berhubungan dengan ketatanegaraan secara detail, sehingga dia bisa memberikan nuansa baru melalui pemikirannya itu.

PEMBENTUKAN MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA


A.  Pendahuluan
UUD 1945 yanga mengalami perubahan sampai empat kali yaitu tahun 1999, 2000, 2001 dan 2002 menandakan bahwa undang-undang sejatinya harus mampu memenuhi kebutuhan dan kondisi zaman, sehingga relevansi dari undang-undang itu sendiri bisa mengakomodir berbagai kebutuhan yang faktual.
Perubahan UUD 1945 mengubah secara mendasar ketatanegaraan Republik Indonesia . dengan perubahan UUD 1945 tersebut tidak dikenal lagi istilah lembaga tertinggi negara dan lembaga tinggi negara. Semua  negara memiliki kedudukan yang sejajar, baik lembaga legislatif, eksekutif, maupun lembaga yudikatif. Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang semula memiliki kedudukan sebagai lembaga negara, dengan adanya perubahan UUD 1945 menjadi lembaga negara yang kedudukannya sejajar dengan lembaga-lembaga negara lainnya.[1]
Kesetaraan kedudukan lembaga negara tersebut memerlukan hadirnya lembaga negara baru yang memperkuat sistem checks and balances antar lembaga negara, sekaligus menyelesaikan apabila terjadi sengketa antar lembaga negara bersangkutan. Atas dasar itu muncul pemikiran untuk membentuk Mahkamah Konstitusi (MK). Setelah melalui pembahasan yang mendalam, pada akhirnya pemikiran tersebut diakomodasi dalam Perubahan UUD 1945 yang disahkan MPR pada 9 November 2001.[2]
Catatan historis timbulnya negara konstitusional, sebenarnya merupakan proses sejarah yang panjang dan selalu menarik untuk dikaji. Konstitusi sebagai suatu kerangka kehidupan politik yang telah disusun melalui dan oleh hukum, yaitu sejak zaman sejarah yunani, dimana mereka telah mengenal beberapa kumpulan hukum (semacam kitab hukum). Pada masa kejayaannya (antara tahun 624-404S.M.) Athena pernah mempunyai tidak kurang dari 11 konstitusi. Koleksi Aristoteles sendiri berhasil terkumpul sebanyak 158 buah konstitusi dari berbagai negara.[3]
Pemahaman awal tentang “konstitusi” pada masa itu, hanyalah merupakan suatu kumpulan dari peraturan serta adat kebiasaan semata-mata. Kemudian pada masa kekaisaran Roma, pengertian constitutionnes memperoleh tambahan arti sebagai suatu kumpulan ketentuan serta peraturan yang dibuat oleh para kaisar atau para preator. Termasuk didalamnya pernyatan-pernyataan pendapat dari para ahli hukum/negarawan, serta adat kebiasaan setempat, disamping undang-undang. Konstitusi Roma mempunyai pengaruh cukup besar sampai abad pertengahan. Dimana konsep tentang kekuasaan tertinggi (ultimate power) dari para Kaisar Roma, telah menjelma dalam bentuk L’Etat General di Perancis, bahkan kegandrungan orang Romawi akan ordo et unitas telah memberikan inspirasi bagi tumbuhnya paham: “Demokrasi perwakilan” dan “Nasionalisme”. Dua paham inilah merupakan cita bakal munculnya paham konstitusionalisme modern.[4] Berdirinya Mahkamah Konstitusi di Indonesia juga tidak terlepas dari historis dari konsep dan fakta adanya judicial review yang terjadi di negara lain yang mengilhami kebeberapa negara diantaranya Indonesia.
Sejarah judicial review muncul pertama kali di Amerika Serikat melalui putusan Supreme Court Amerika Serikat dalam perkara “Marbury vs Madison” pada 1803. Walaupun Undang-Undang Dasar Amerika Serikat tidak mencantumkan judicial review, Supreme Court Amerika Serikat membuat putusan yang mengejutkan. Chief Justice John Marshall didukung empat hakim agung lainnya menyatakan bahwa pengadilan berwenang membatalkan undang-undang yang bertentangan dengan konstitusi. Keberanian John Marshall dalam kasus itu menjadi preseden dalam sejarah Amerika yang kemudian berpengaruh luas terhadap pemikiran dan praktik hukum di banyak negara. Semenjak itulah banyak undang-undang federal maupun undang-undang negara bagian yang dinyatakan bertentangan dengan konstitusi oleh Supreme Court.[5]
MK sebagai lembaga, pertama kali diperkenalkan oleh Hans Kelsen  (1881-1973), pakar konstitusi dan guru besar Hukum Publik dan Administrasi University of Vienna. Kelsen menyatakan bahwa pelaksanaan aturan konstitusional tentang legislasi dapat secara efektif dijamin hanya jika suatu organ selain badan legislatif diberikan tugas untuk menguji apakah produk hukum itu konstitusional atau tidak, dan tidak memberlakukannya jika menurut organ ini produk badan legislatif tersebut tidak konstitusional. Untuk kepentingan itu, kata Kelsen, perlu dibentuk organ pengadilan khusus berupa constitutional court, atau pengawasan konstitutionalitas undang-undang yang dapat juga diberikan kepada pengadilan biasa. Pemikiran kelseng mendorong verfassungsgerichtshoft di Austria yang berdiri sendiri di luar Mahkamah Agung. Inilah Mahkamah Konstitusi pertama di dunia.[6]

B. Ide Pembentukan MK  Republik   Indonesia dalam UU 1945
Pemikiran mengenai pentingnya suatu Mahkamah Konstitusi (MK) telah muncul dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia sebelum merdeka. Pada saat pembahasan rancangan UUD di Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), anggota BPUPKI Prof. Muhammad Yamin telah mengemukakan pendapat bahwa Mahkamah Agung (MA) perlu diberikan kewenangan untuk membanding Undang-Undang. Namun ide ini ditolak oleh Prof. Soepomo berdasarkan dua alasan, pertama UUD  yang sedang disusun pada saat itu (yang kemudian menjadi UU 1945) tidak menganut paham trias politika. Kedua, pada saat itu jumlah sarjana hukum kita belum banyak dan belum memiliki pengalaman mengenai hai ini.[7]
Gagasan Yamin muncul kembali pada proses amandemen UUD 1945. Gagasan membentuk Mahkamah Konstitusi mengemuka pada siang kedua Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR RI (PAH I BP MPR), pada Maret – April tahun 2000. Mulanya, MK akan ditempatkan dalam lingkungan MA, dengan kewenangan melakukan uji materil atas undang-undang, memberikan putusan atas pertentangan antar undang-undang serta kewenangan  lain yang diberikan undang-undang. Usulan lainnya, MK diberi kewenangan memberikan putusan atas persengketaan kewenangan  antarlembaga negara, antar pemerintah pusat dengan pemerintah daerah dan antar pemerintah daerah. Dan setelah melewati perdebatan panjang, pembahasan mendalam, serta dengan mengkaji lembaga pengujian konstitusional undang-undang diberbagai negara, serta mendengarkan masukan berbagai pihak, terutama para pakar hukum tata negara, rumusan mengenai pembentukan Mahkamah Konstitusi diakomodir dalam Perubahan Ketiga UUD 1945. Hasil Perubahan Ketiga UUD 1945 itu  merumuskan ketentuan mengenai lembaga yang diberi nama Mahkamah Konstitusi Pasal 24 Ayat (2) dan Pasal 24 UUD 1945. Akhirnya sejarah MK dalam sistem ketatanegaraan Indonesia dimulai, tepatnya setelah disahkannya Perubahan Ketiga UUD 1945 Pasal 24 ayat (2), Pasal 24 C dan Pasal 7B pada 9 November 2001.[8]
Dalam perkembangannya, ide pembentukan MK dilandasi upaya serius memberikan perlindungan terhadap hak-hak konstitusional warga negara dan semangat penegakan konstitusi sebagai grundnorm atau highest norm, yang artinya segala peraturan perundang-undangan yang berada dibawahnya tidak boleh  bertentangan  dengan apa yang sudah diatur dalam konstitusi. Konsitusi merupakan bentuk pelimpahan kedaulatan rakyat (the soverreignity of the people) kepada negara, melalui konstitusi rakyat membuat statement kerelaan pemberian sebagian hak-haknya kepada negara. Oleh karena itu, konstitusi harus dikawal dan dijaga. Sebab, semua bentuk penyimpangan, baik oleh pemegang kekuasaan maupun aturan hukum di bawah konstitusi terhadap konstitusi, merupakan wujud nyata pengingkaran terhadap kedaulatan rakyat.[9] Ini mengimplikasikan agar pelaksanaan kedaulatan rakyat melalui konstitusi harus dikawal dan dijaga. Agar konstitusi  sebagai perwujudan kedaulatan rakyat tidak disalahgunakan.
Apabila ditelaah lebih lanjut, pembentukan MK didorong dan dipengaruhi oleh kondisi factual yang terjadi pada saat itu. Pertama, sebagai konsekuensi dari perwujudan negara hukum yang demokratis dan negara demokrasi yang berdasarkan hukum. Kenyataan menunjukan bahwa suatu keputusan yang dicapai dengan demokratis tidak selalu sesuai dengan ketentuan UU yang berlaku sebagai hukum tertinggi. Oleh karena itu, diperlukan lembaga yang berwenang  menguji konstitusionalitas undang-undang. Kedua, pasca perubahan kedua dan ketiga UUD 1945 telah mengubah relasi kekuasaan dengan menganut sistem pemisahaan kekuasaan (separation of powers) berdasarkan prinsip checks and balances. Jumlah lembaga negara dan segenap ketentuannya yang membuat potensi besar terjadinya sengketa antar lembaga negara. Sementara itu, perubahan paradigm supremasi MPR ke supremasi konstitusi, membuat tidak ada lagi lembaga tertinggi negara yang berwenang menyelesaikan sengketa antarlembaga negara. Oleh karena itu diperlukan lembaga tersendiri untuk menyelesaikan sengketa tersebut. Ketiga, kasus pemakzulan (impeachment) Presiden Abdurrahman Wahid oleh MPR pada Sidang Istimewa MPR pada 2001, mengilhami untuk mencari mekanisme hukum yang digunakan dalam proses pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden agar tidak semata-mata didasarkan atas politis semata. Untuk itu, disepakati perlunya lembaga hukum yang berkewajiban menilai terlebih dahulu pelanggaran hokum yang dilakukan presiden dan/atau wakil presiden yang dapat menyebabkan presiden dan/atau wakil presiden diberhentikan dari masa jabatannya.
Pembentukan mahkamah konstitusi diperlukan untuk menegakkan prinsip negara hukum Indonesia dan prinsip konstitusionalisme. Artinya tidak boleh ada undang-undang dan peraturan perundang-undangan lainnya yang bertentangan dengan undang-undang dasar sebagai puncak dari tata urutan perundang-undangan di Indoonesia. Dalam rangka pengujian undang-undang terhadap undang-undang dasar dibutuhkan sebuah mahkamah dalam rangka menjaga prinsip konstitusionalitas hukum. Tugas mahkamah konstitusilah yang menjaga konstitusionalitas hukum itu.[10]
Pembentukan mahkmah konstitusi juga terkait dengan penataan kembali dan reposisioning lembaga-lembaga negara yang sebelum perubahan UUD 1945 berlandaskan pada supremasi MPR sebagai lembaga tertinggi negara. Perubahan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 yang sebelum perubahan berbunyi “Kedaulatan adalah ditangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat”, diubah menjadi “Kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut undang-undang dasar”, telah membawa implikasi yang sangat luas dan mendasar dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Artinya, sebelum perubahan, kedaulatan rakyat berpuncak pada MPR, dan MPR-lah sebagai penyelesaian final atas setiap masalah ketatanegaraan yang muncul baik atas konstitusionalitas dari suatu undang-undang maupun penyelesaian akhir sengketa antar lembaga negara. Dengan dasar konsepsional inilah ketetapan MPR RI No. III Tahun 2000 menentukan bahwa pengujian undang-undang terhadap undang-undang dasar dilakukan oleh MPR dan setiap lembaga negara melaporkan penyelenggaraan kinerjanya kepada MPR setiap tahun. Implikasi perubahan Pasal 1 ayat (2) tersebut, posisi MPR sejajar dengan lembaga-lembaga negara lainnya dan masing-masing lembaga negara adalah pelaksana kedaulatan rakyat sesuai tugas dan kewenangannya yang ditentukan undang-undang dasar. Dengan demikian MPR melaksanakan kedaulatan rakyat untuk mengubah dan menetapkan undang-undang dasar, melantik presiden dan wakil presiden, memberhentikan presiden dan/atau wakil presiden sesuai ketentuan undang-undang dasar, serta dalam hal-hal tertentu mengangkat presiden dan/atau wakil presiden. Mahkamah konstitusi merupakan pelaksana kedaulatan rakyat untuk menguji konstitusionalitas undang-undang terhadap undang-undang dasar, memutus sengketa kewenangan antara lembaga negara yang kewenangannya diatur dalam undang-undang dasar, memutus sengketa pemilihan umum serta memutus pembubaran partai politik. Demikian juga lembaga negara yang lainnya adalah pelaksana kedaulatan rakyat sesuai tugas dan wewenangnya yang ditentukan dalam undang-undang dasar.[11]

C.  Penyusunan UU MK Republik Indonesia No. 24 Tahun 2013
Sejarah berdirinya MK diawali dengan Perubahan Ketiga UUD 1945 dalam Pasal 24 ayat (2), Pasal 24C, dan Pasal 7B yang disahkan pada 9 November 2001. Setelah disahkannya Perubahan Ketiga UUD 1945, maka dalam rangka menunggu pembentukan Mahkamah Konstitusi, MPR menetapkan Mahkamah Agung menjalankan fungsi MK untuk sementara sebagaimana diatur dalam Pasal III Aturan Peralihan UUD 1945 hasil Perubahan Keempat.[12]
Sesuai Pasal 24C UUD 45, Mahkamah Konstitusi memiliki lima kewenangan yaitu menguji undang-undang terhadap UUD (judicial review/materieele toetsengrecht), memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD, memutus pembubaran parpol, memutus sengketa hasil pemilu, dan memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh presiden/wakil presiden. Akhirnya, pada Sidang Tahunan MPR 10 Agustus 2002 disahkan Amandemen Keempat UUD 1945 yang dalam Pasal III Aturan Peralihan diatur bahwa Mahkamah Konstitusi dibentuk selambat-lambatnya pada 17 Agustus 2003 dan sebelum dibentuk segala kewenangannya dilakukan oleh MA.[13]
Kemudian, pada 16 Oktober 2002 Ketua Mahkamah Agung Bagir Manan menandatangani Peraturan MA (Perma) No.2 Tahun 2002 tentang Tata Cara Penyelenggaraan Wewenang Mahkamah Konstitusi oleh Mahkamah Agung. Dalam Perma tersebut, MA sudah mulai menyusun hukum acara Mahkamah Konstitusi.[14]
Di saat yang sama, DPR tengah menyusun RUU tentang Mahkamah Konstitusi yang dimotori oleh Ketua Badan Legislasi DPR Zain Badjeber. Zain mengatakan proses penyusunan RUU Mahkamah Konstitusi sudah mulai dirintis Baleg sejak Perubahan Ketiga UUD 45 disahkan. Namun, ia mengakui penyusunan RUU sempat terhenti menjelang dikeluarkannya Perma No.2/2002. RUU Mahkamah Konstitusi kemudian diajukan ke pimpinan DPR pada 15 November 2002 sebagai usul inisiatif Baleg. Pada tanggal 23 Januari 2003 rapat paripurna DPR menerima usul inisiatif ini menjadi usul DPR. Namun, usul DPR ini terpendam di DPR sampai 13 Mei 2003 dan kemudian baru dibentuk Pansus DPR. ternyata, meski sudah terbentuk pansus RUU-nya sendiri belum dikirim ke pemerintah.[15]
Akhirnya, tanggal 18 Mei Presiden mengirim surat amanat presiden (Ampres) menunjuk Menteri Kehakiman dan HAM dan Jaksa Agung untuk membahas RUU Mahkamah Konstitusi bersama pansus. Hal yang menarik, menurut Zain, isi Ampres tersebut tidak lazim. Pasalnya, di dalam surat itu presiden memberikan catatan panjang lebar mengenai RUU yang akan dibahas.[16]
Sebagai tindak lanjut pengaturan mengenai MK di dalam UUD, pemerintah dan DPR membahas pembentukan UU mengenai MK. UU ini selesai disusun dan disahkan pada tanggal 13 Agustus 2003 menjadi UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang MK. Tanggal 13 Agustus 2003 inilah yang disepakati oleh hakim konstitusi menjadi waktu dibentuknya MK dan setiap tanggal 13 Agustus ditetapkan sebagai Hari Ulang Tahun (HUT) MK.[17]
Sembilan hakim konstitusi yang pertama kali dalam sejarah Indonesia ditetapkan pada tanggal 15 Agustus 2003 dengan Keputusan Presiden Nomor 147/M Tahun 2003. Pengucapan sumpah jabatan kesembilan hakim dilakukan di Istana Negara pada tanggal 16 Agustus 2003 disaksikan oleh Presiden Megawati Soekarnoputri. Sesuai ketentuan UUD, tiga hakim konstitusi berasal dari usul DPR, tiga hakim konstitusi berasal dari usul MA, dan tiga hakim konstitusi berasal dari usul Presiden. Konfigurasi sumber rekrutmen hakim konstitusi dari tiga cabang kekuasaan negara tersebut mencerminkan keseimbangan dan keterwakilan tiga cabang kekuasaan negara tersebut di dalam tubuh MK sebagai lembaga pelaksana kekuasaan kehakiman yang memperkuat sistem checks and balances antarcabang kekuasaan negara (eksekutif, legislatif, dan yudikatif).[18]

D.  Perkembangan Awal Peradilan Konstitusi (2003-2008)
Berpijak pada Pasal 24 UUD 1945, Mahkamah Konstitusi  adalah lembaga negara yang menjalankan kekuasaan kehakiman  yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan  hukum dan keadilan. Kewenangan Mahkamah Konstitusi ditentukan  dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 juncto Pasal 10 ayat (1) Undang Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi  (UU MK), yakni mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap  Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga  negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar,  memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan  tentang hasil pemilihan umum.
Selain itu, Mahkamah Kontitusi memiliki satu kewajiban  sebagaimana ditentukan dalam Pasal 24C ayat (2) UUD 1945 juncto Pasal 10 ayat (2) UU MK, yakni memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bahwa Presiden dan/atau Wakil  Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana  berat lainnya, atau perbuatan tercela, dan/atau tidak lagi memenuhi  syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana  dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia  Tahun 1945. Kewajiban itu lebih dikenal sebagai kewajiban untuk memutus impeachment.
Sejak berdirinya Mahkamah Konstitusi pada 13 Agustus 2003  hingga berakhirnya masa bakti hakim konstitusi periode 2003–2008  pada 15 Agustus 2008, Mahkamah Konstitusi telah melaksanakan tiga  kewenangannya yakni menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang  kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, dan memutus  perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Adapun untuk perkara pembubaran partai politik dan impeachment Presiden dan/atau Wakil  Presiden, sampai saat ini Mahkamah Konstitusi belum memeriksa  perkara itu karena belum ada perkara jenis tersebut yang diajukan.[19]
Total perkara yang ditangani Mahkamah Konstitusi pada tahun 2008, per 7 April 2008 sebanyak 21 perkara yang terdiri dari 17 perkara untuk pengujian undang-undang dan 4 perkara untuk sengketa kewe­nangan lembaga negara. Dari 21 perkara tersebut terdapat 13 perkara (61,90%) yang telah diputus dan 8 perkara (38,10%) masih dalam proses pemeriksaan.[20]
Adapun untuk rincian perkara yang masuk sejak 2003 sampai dengan 2008 yaitu untuk permohonan peng­ujian UU terhadap UUD 1945 yang teregistrasi di MK sampai 7 April 2008 adalah sebanyak 140 perkara. Dari sejumlah perkara itu, terdapat 132 perkara (94,29%) yang telah diputus oleh MK dan sisanya yakni sebanyak 8 perkara (5,71%) masih dalam tahap pemeriksaan dengan beberapa perkara direncanakan akan diputus dalam waktu tidak lama lagi. Telah diputusnya sebagian besar perkara dan hanya tersisa sekitar seper­sepuluh jumlah perkara yang masuk menunjukkan bahwa MK dipandang memiliki kinerja cukup tinggi.[21]
Secara garis besar 132 putusan MK tersebut terbagi kepada beberapa kategori, yaitu 37 perkara (28,03%) yang per­mohonannya dikabulkan; 79 perkara (59,84%) yang per­mohonannya ditolak atau yang tidak dapat diterima; 14 perkara (10,61%) ditarik kembali oleh pemohon, dan dua perkara (1,52%) bukan merupakan kewenangan Mahkamah Konstitusi. Data ini antara lain menunjukkan bahwa terdapat hampir sepertiga jumlah pemohon telah dengan tepat menyusun permohonannya dalam pengertian isi permohonan pengujian UU yang diajukannya dapat di­buktikan memang bertentangan dengan UUD 1945. Ini menunjukkan bahwa mereka memiliki pengetahuan dan kesadaran konstitusi yang cukup  memadai.[22]
Dalam setiap bulannya, rata-rata Mahkamah Konstitusi menghasilkan 2,7 putusan. Waktu yang dibutuhkan untuk memutus satu perkara bervariasi mulai kurang dari satu bulan hingga 8,4 bulan. Perkara yang membutuhkan waktu paling lama tersebut adalah PUU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi karena banyaknya keterangan pemohon, saksi, ahli, dan pihak terkait yang harus didengar dalam per­sidangan. Sedangkan untuk perkara perselisihan hasil Pemilu 2004, MK telah memutus 252 perkara yang diajukan oleh 23 partai politik, 21 perkara yang diajukan calon anggota DPD, dan sebuah perkara yang diajukan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden. Putusan MK terhadap 252 perkara yang diajukan partai-partai politik itu .permohonan ditolak sebanyak 135 perkara (49,27%), permohonan tidak dapat diterima sebanyak 89 perkara (32,48%) dan 9 perkara (3,28%) ditarik kembali oleh Pemohon. Data ini antara lain menunjukkan bahwa setengah lebih partai politik yang menjadi Pemohon tidak memiliki dalil yang dapat dibuktikan di dalam sidang. Mereka hanya memenuhi persyaratan administratif, permohonannya menjadi kewenangan MK, dan signifikan pengaruhnya terhadap posisi yang ada (jika dikabulkan) tetapi tidak didukung data sahih. Seiring dengan itu hanya 15% pemohon yang benar-benar memenuhi semua persyaratan agar permohonan diterima, termasuk memiliki dalil yang dapat dibuktikan di dalam sidang. Putusan MK terhadap perkara yang diajukan oleh partai politik telah membawa implikasi terhadap perolehan kursi DPR oleh partai politik di mana terdapat partai politik yang kehilangan kursi, seperti Partai Golkar (kehilangan 1 kursi DPR) dan Partai Demokrat (kehilangan 2 kursi DPR), di sisi lain terdapat partai politik yang mendapat tambahan kursi, seperti Partai Bintang Reformasi (tambahan 1 kursi DPR) dan Partai Pelopor (tambahan 2 kursi DPR). Dari 21 perkara yang diajukan calon anggota DPD, hanya satu perkara yang dikabulkan permohonannya oleh MK dan mempengaruhi penetapan calon anggota DPD, yakni permohonan Achmad Chalwani dari Provinsi Jawa Tengah yang menyebabkan perubahan posisi di mana Achmad Chalwani terpilih menjadi anggota DPD menggantikan Dahlan Rais yang semula ditetapkan KPU sebagai anggota DPD. Data ini menunjukkan bahwa sebagian besar Pemohon (95%) mengajukan permohonan tanpa didukung data yang sahih, kuat, dan signifikan dalam mengajukan keberatannya atas hasil penghitungan suara yang dilakukan KPU.
MK juga telah memproses dan mengambil putusan terhadap satu-satunya permohonan dalam perselisihan hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden 2004, yang diajukan oleh pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden Wiranto dan Salahuddin Wahid. Pasangan ini mengajukan permohonan bahwa penghitungan suara yang dilakukan KPU tidak akurat karena terdapat sekitar lima juta suara pendukung mereka yang hilang. Namun dalam persidangan MK, data yang diajukan Pemohon tidak dapat dibuktikan dan pada puncaknya MK memutuskan untuk menolak permohonan Pemohon karena dalil yang diajukan tidak terbukti.
Melalui penyelesaian sengketa hasil Pemilu, MK telah membawa perkara-perkara yang bersifat politis untuk di­selesaikan melalui mekanisme hukum sehingga meng­hindar­kan kemungkinan terjadinya aksi kekerasan di jalanan atau lobi-lobi politik. Hal itu juga merupakan perwujudan dari supremasi hukum dan penegasan bahwa Indonesia adalah negara berdasar hukum. Walaupun untuk pertama kalinya MK melaksanakan tugas konstitusionalnya memutus per­kara perselisihan hasil Pemilu, namun berbagai putusan MK mengenai perkara ini dapat diterima secara luas, tidak hanya oleh pemohon dan termohon, juga konstituen dan para pendukung/massa partai politik. Hal ini terbukti dengan sangat minimnya tanggapan negatif yang menggugat atau menentang putusan itu, termasuk melalui aksi unjuk rasa yang biasanya mengiringi putusan-putusan berkaitan dengan partai politik. Fenomena ini menunjukkan bahwa MK di­pandang telah menampilkan kinerja memuaskan dengan menjatuhkan putusan yang adil dan benar.[23]
Dalam konteks demokratisasi, penyelesaian perselisihan hasil Pemilu 2004 oleh MK secara memuaskan tanpa ada gejolak di tingkat elit maupun massa menunjukkan bahwa MK telah berhasil mengawal proses demokratisasi di tanah air. Kinerja MK yang demikian baik tersebut menjadi salah satu faktor signifikan bagi terwujudnya situasi dan kondisi yang kondusif bagi dimulainya pelaksanaan tugas lembaga-lembaga negara yang dibentuk berdasarkan hasil Pemilu 2004 (DPR, DPD, DPRD, dan Presiden/Wakil Presiden) secara lancar dan tertib. Untuk perkara sengketa kewenangan lembaga negara, MK telah menerima 10 permohonan perkara. Dari sepuluh perkara itu telah diputus 10 perkara, yang terdiri dari 2 perkara ditolak, 5 perkara tidak diterima, dan 3 perkara lagi ditarik kembali.  Salah satu perkara sengketa kewenangan lembaga negara diajukan oleh Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI Prof. Dr. Ir. Ginandjar Kartasasmita. DPD meng­ajukan permohonan sehubungan dengan terbitnya keputusan Presiden Megawati tentang pengangkatan Anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) periode 2004-2009. Per­mohonan ini disebabkan DPD merasa hak kons­titusi­onalnya dilanggar karena pengangkatan itu tidak dilakukan dengan memperhatikan pertimbangan DPD sebagaimana diatur UUD 1945. Setelah melakukan per­sidangan beberapa kali, akhirnya MK mengeluarkan putusan berisi penolakan permohonan Pemohon. Perkara ini merupakan perkara pertama yang diperiksa, diadili, dan diputus oleh MK. Penyelesaian sengketa kewenangan antarlembaga negara yang diputus oleh MK dengan mekanisme hukum yang tersedia telah menghindarkan terjadinya konflik politik antarlembaga negara yang berkepanjangan dan instabilitas politik yang merugikan kepentingan negara dan bangsa.[24]

E. Daftar Pustaka
1.  Buku dan Makalah
-------------------, Ikhtisar Putusan Mahkamah Konstitusi 2003-2008.
-------------------, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Asshiddiqie, Jimly, (18 Juni 2012). Sejarah Constitutional Review dan Gagasan Pembentukan Mahkamah Konstitusi. Makalah, Jakarta.
Asshiddiqie, Jimly, (19 April 2008). Mahkamah Konstitusi dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia. Makalah, Bandung.
M. Gaffar, Janedjri, Kedudukan, Fungsi dan Peran Mahkamah Konstitusi dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia. Makalah.
Nurcahyanto, Agung Nahdhi, Sejarah Terbuntiknya Mahkamah Konstitusi Indoesia Sebagai Pengawal Konstitusi, Makalah.
Thaib, Dahlan dkk, ( Juni 2002). Teori dan Hukum Konsitusi, Jakarta: PT. Rajagrafindo.

2.  Internet
    www.hamdanzoelva.wordpress.com






[1] Jimmly Asshidiqie, Pengantar dalam Ikhtisar Putusan MK 2003-2008, h., vii.
[2] Ibid.
[3] Dahlan Thaib, Jazim Hamidi, Ni’matul Huda, Teori dan Hukum Konstitusi, PT. Rajagrafindo Persada, Jakarta: 2012, Cet. 10, h. 2.
[4]  Ibid.
[5] Janedjri M. Gaffar, Kedudukan, Fungsi, dan Peran Mahkamah Konstitusi dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia, Makalah, h. 3. Lihat juga makalah Jimly Asshiddiqie, Sejarah Constitutional Review dan Gagasan Pembentukan Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Senin, 18 Juni 2012.
[6] Ibid., h. 4.
[7] Jimly Asshiddiqie, Mahkamah Konstitusi dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia, (Ceramah pada Pendidikan Sespati dan Sespim Polri, Bandung, 19 April 2008 dalam bentuk makalah),  h., 12. Dalam makalahnya Jenedjri M. Gaffar (Sekretaris Jenderal MK) usulan Yamin disanggah Soepomo dengan empat alas an bahwa (i) konsep dasar yang dianut dalam  UUD yang  tengah disusun bukan konsep pemisahan kekusaaan (separation of power) melainkan konsep pembagian kekuasaan (distribution of power), selain itu, (ii) tugas hakim adalah menerapkan undang-undang, bukan menguji undang-undang, (iii) kewenangan hakim untuk melakukan  pengujian undang-undang bertenatangan dengan konsep supremasi Majelis Permusyawaratan Rakyat, dan (iv) sebagai Negara yang baru merdeka  belum memiliki ahli-ahli mengenai hal tersebut serta pengalaman mengenai yudicial review. Akhirnya ide itu urung diadopsi dalam UUD 1945.
[8] Janedjri M. Gaffar, Kedudukan, Fungsi, dan Peran Mahkamah Konstitusi dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia, Op. cit., h. 5-6.
[9]  Ibid., h., 7.
[10] http://hamdanzoelva.wordpress.com /2008 /04 /07/ mahkamah - konstitusi - dalam - sistem-ketatanegaraan-ri/ (diakses, 12 Maret 2014).
[11] Ibid.
[12] Agung Nadhi Nurcahyanto, Sejarah Terbentuknya Konstitusi Indonesia Sebagai Pengawal Konstitusi, Makalah, h. 16.
[13] Ibid., h. 14.
[14] Ibid.
[15] Ibid.
[16] Ibid.
[17] Jimly Asshiddiqie, Mahkamah Konstitusi dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia, Op. cit h.14.
[18] Ibid.
[19] Janedjri M. Gaffar, Ikhtisar Putusan Mahkamah Konstitusi 2003-2008, h. v-vi.
[20] Jimly Asshiddiqie, Mahkamah Konstitusi dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia, Op. cit. h. 15.
[21] Ibid.
[22]  Ibid., h. 16.
[23] Ibid.
[24] Ibid.

FILSAFAT IDEALISME DAN TEORI KAUSALITAS DALAM PENEGAKAN HUKUM


A.  Pendahuluan
Filsafat adalah pencarian kebenaran melalui alur berfikir yang sistematis, artinya perbincangan mengenai segala sesuatu dilakukan secara teratur mengikuti sistem yang berlaku sehingga tahapan-tahapannya mudah diikuti. Berfikir sistematis tentu tidak loncat-loncat, melainkan mengikuti aturan main yang benar.[1] Filsafat selalu mencari jawaban-jawaban, tetapi jawaban yang ditemukan tidak pernah abadi. Oleh karena itu filsafat tidak pernah selesai dan tidak pernah sampai pada akhir sebuah masalah. Masalah-masalah filsafat tidak pernah selesai  karena itulah memang sebenarnya filsafat.[2]
Filsafat juga dianggap sebagai kreasi berfikir dengan menggunakan metode-metode ilmiah untuk memahami dunia dimana kita hidup. Usaha untuk memahami dunia dan memperpadukan hasil-hasil dari ilmu pengetahuan kepengetahuan spesial agar menjadi suatu macam pandangan hidup yang seragam, merupakan tujuan yang esensial dari filsafat sejak dari zaman Thales[3], filsuf Yunani yang pertama-tama hingga zaman sekarang.[4] Filsafat mulanya lahir akibat adanya keingintahuan manusia terhadap keberadaan alam semesta ini. Dari apa bumi ini dicipkatan ? apa sebabnya matahari terbit dari timur? Serangkaian pertanyaan-pertanyaan tersebut menghiasi berfikir filsafat. Pertanyaan-pertanyaan itu juga berpengaruh terhadap proses penegakan hukum dengan adanya sebab akibat (kausalita), mengapa seseorang bisa tertabrak ? apa sebabnya seseorang bisa dihukum?apa sebabnya rumah itu bisa terbakar ? dan pertanyaan-pertanyaan berikutnya.
Idealisme merupakan salah satu cabang filsafat yang sering menjadi bahan diskusi dikalangan para akademisi terkait pemikirannya mengutamakan ide daripada realitas, hal ini yang menjadi sangat menarik untuk dikaji lebih lanjut.  Maka dari itu tulisan ini akan mencoba sedikit memberikan pengantar bahan diskusi terkait filsafat idealisme yang lebih menitik beratkan pada pemikiran Plato dan teori kausalitas dalam penegakan hukum.

B. Filsafat Idealisme
1.  Definisi Idealisme
Idealisme merupakan salah satu aliran filsafat yang banyak mendapat sorotan dari kalangan pemerhati filsafat karena terkait dengan pemahannya yang memprioritaskan ide dari pada realitas, namun kata idealis itu sendiri ketika diaplikasikan dalam bahasa sehari-hari mempunyai berbagai arti.
Kata idealis dalam filsafat mempunyai arti yang sangat berbeda dari artinya dalam bahasa sehari-hari. Secara umum kata itu berarti: (1) seseorang menerima ukuran moral yang tinggi, estetika dan agama serta menghayatinya. (2) orang yang dapat melukiskan dan menganjurkan suatu rencana atau program yang belum ada. Tiap pembaharuan sosial adalah seorang idealis dalam arti kedua ini, karena itu menyokong sesuatu yang belum ada. Mereka yang berusaha mencapai perdamaian yang abadi atau memusnahkan kemiskinan juga dapat dinamakan idealis dalam arti ini. Kata idealis dapat diartikan pujian atau olok-olok. Seseorang yang memperjuangkan tujuan-tujuan yang dipandang orang lain tidak mungkin dicapai, atau seseorang yang menanggap sepi fakta-fakta dan kondisi-kondisi sesuatu situasi, sering dinamakan: mere idealist (idealis semata-mata).[5]
Arti filsafat dari kata idealism ditentukan lebih banyak oleh arti kata ide dari pada kata ideal. W.E.Hocking, seorang idealis mengatakan bahwa kata idea-ism lebih tepat digunakan dari pada idealism. Secara ringkas idealism mengatakan bahwa realitas terdiri dari ide-ide, pikiran-pikiran, akal (mind) atau jiwa (self) dan bukan benda material dan kekuatan. Idealisme menekankan  mind sebagai hal yang lebih dahulu (primer) dari pada materi. Sebaliknya, materialisme mengatakan sebaliknya. Materialisme mengatakan bahwa materi itulah yang ril atau yang nyata. Adapun akal (mind) hanyalah fenomena yang menyertainya. Idealisme mengatakan akal itulah yang riil dan materi hanyalah merupakan produk sampingan.[6]
Idealisme adalah suatu aliran yang mengajarkan bahwa hakikat dunia fisik hanya dapat dipahami dalam kaitannya dengan jiwa dan roh. Istilah idealisme diambil dari kata idea yaitu sesuatu yang hadir dalam jiwa. Pandangan ini telah dimiliki oleh plato dan pada filsafat modern dipelopori oleh J.G. Fichte, Sckelling, dan Hegel.[7] Dengan demikian bahwa idealisme merupakan suatu pandangan yang mengatakan bahwa sesungguhnya realitas sangat erat hubungannya dengan ide, pikiran atau jiwa.
Idealisme mempunyai argument epistemologi tersendiri. Oleh karena itu, tokoh-tokoh teisme yang mengajarkan bahwa materi bergantung kepada spirit tidak disebut idealis karena mereka tidak menggunakan argument yang mengatakan bahwa objek-objek fisik pada akhirnya adalah ciptaan tuhan, argument orang-orang idealisme mengatakan bahwa objek-objek tidak dapat dipahami terlepas dari spirit.[8]  Idealisme secara umum selalu berhubungan dengan rasionalisme ini adalah mazhab epistemologi yang mengajarkan bahwa pengetahuan a priori atau deduktif dapat diperoleh manusia dengan akalnya. Lawan rasionalisme dalam epistemologi adalah empirisme yang mengatakan bahwa pengetahuan bukan diperoleh lewat rasio (akal), melainkan melalui pengalaman empiris. Orang-orang empirisme sangat  sulit menerima paham bahwa semua realitas adalah mental atau bergantung pada jiwa atau roh karena pandangan itu melibatkan dogma metafisik.[9] Plato sering disebut sebagai idealis sekalipun ide – nya tidak khusus (spesifik) mental, tetapi lebih merupakan objek universal (mirip dengan definisi pada Aristoteles, pengertian umum pada Socrates). Akan tetapi, ia sependapat  dengan ide modern yang mengajarkan bahwa hakikat penampakan (yang tampak) itu berwatak (khas) spiritual. Ini terlihat dengan jelas pada legenda manusia guanya yang terkenal itu. Pandangan ini dikembangakan oleh Plotinus.[10]
Plato salah seorang murid dan teman Socrates, memperkuat pendapat guru itu, Menurut Plato, kebenaran umum (definisi) itu bukan dibuat dengan cara dialog yang induktif seperti pada Socrates; pengertian umum itu sudah tersedia di “sana” di alam ide itu.  Definisi pada Socrates dapat saja diartikan tidak memiliki realitas. Realitasnya, ya di alam ide itu.[11] Hal ini jelas bahwa pendapat Plato mengenai kebenaran berbeda dengan gurunya Socrates, Plato berpendapat bahwa sebenarnya konsep kebenaran sudah ada di alam ide bukan di buat atau didialogkan seperti halnya Socrates, namun dengan ini memperkuat pendapat gurunya Socrates untuk melemahkan pemikiran-pemikiran kaum sofis yang tidak mempercayai adanya kebenaran yang bersifat umum yang ada hanyalah kebenaran relatif.
Plato percaya bahwa dibelakang alam perubahan atau alam empiris, alam fenomena yang kita lihat atau kita rasakan, terdapat alam ideal, yaitu alam esensi, form atau ide. Bagi Plato dunia dibagi dalam dua bagian.[12]
Pertama, dunia persepsi, dunia penglihatan, suara dan benda-benda individual. Dunia seperti  itu, yang kongkrit, temporal dan rusak bukannya dunia yang sesungguhnya, melainkan dunia penampakan saja.
Kedua, terdapat alam di atas alam benda, yaitu alam konsep, ide, universal, atau esensi yang abadi konsep “manusia” mengandung “realitas” yang lebih besar daripada yang dimiliki orang seorang kita mengenal benda-bendri pada  individual  karena kita  mengetahui konsep-konsep dari contoh-contoh yang abadi bidang yang kedua ini mencakup contoh, bentuk (form) atau jenis (type) yang berguna sebagai ukuran untuk benda-benda  yang kita persepsikan dengan indera kita. Ide-ide adalah contoh yang transeden dan asli, sedangkan persepsi dan benda-benda individual adalah copy atau bayangan dari ide-ide tersebut.
2. Filsafat Hukum[13] Plato
Plato (428-347), salah seorang nama lain dari tiga nama yang pertama-tama mempopulerkan tradisi berfikir dan bermetode filsafat hukum. Seperti yang telah diriwayatkan Valerine J.L Kriekhof, hampir tidak ada masalah filsafat hukum yang luput dari perhatian Plato. Orang ini sudah mulai tekun menulis pada saat kehidupan kota Yunani tengah mengalami gelombang kemerosotan yang sangat hebat, ketika hukum tampil hanya dalam peraktek yang ditetapkan melalui pergeseran masyarakat mayoritas untuk kepentingan mereka sendiri, akibatnya keselarasan (keharmonisan) antara cita-cita sistem hukum dan cita-cita sistem dari alam semesta tidak mudah untuk dipertahankan. Pada yang demikian itu Plato berusaha untuk memulihkan kembali, sejauh mungkin, penganalogian secara tradisional antara konsep keadilan dan prinsip-prinsip alam dalam cara-cara yang sistematis.[14]
Dalam perenungannya bertema idealistikal, misalnya, Plato berusaha merekomendasikan beberapa hal yang olehnya diarahkan untuk menjawab pertanyaan tentang “ apa pengertian tentang hukum itu”? dalam Republic, Plato menanggapi ini dengan menegaskan hukum sebagai: sistem aturan-aturan positif yang terorganisir atau terformulasi, mengikat keseluruhan individu dalam negara.[15] Plato telah membahas hampir semua masalah yang tercakup dalam filsafat hukum. Baginya, keadilan (justice) adalah tindakan yang benar, tidak diidentifikasikan dengan hanya kepatuhan pada aturan hukum. Keadilan adalah suatu cirri sifat manusia yang mengkordinasi dan membatasi perbagai elemen dari psike manusia pada lingkungannya yang tepat (proper spheres) agar memungkinkan manusia dalam keutuhannya berfungsi dengan baik.[16]
Dalam naskah lainnya, The laws, Plato mengusahakan ladang-ladang perenungannya dengan bertitik tumpu pada konsep akal, bahwa hukum merupakan hasil dari pengelolaan pikiran-pikiran manusia dalam cara-cara yang masuk akal dengan kata lain: hukum adalah logismos atau reasoned thought (pikiran yang masuk akal) yang dirumuskan dalam putusan negara. Plato menolak pandangan bahwa otoritas hukum bertumpu semata-mata pada kemauan dan kehendak governing power (pihak-pihak yang memangku kekuasaan).[17]

C. Teori Kausalitas dalam Penegakan Hukum
Tiap-tiap peristiwa pasti ada sebabnya tidak mungkin terjadi begitu saja, dapat juga suatu peristiwa menimbulkan peristiwa yang lain. Disamping hal tersebut diatas dapat juga terjadi satu peristiwa sebagai akibat satu peristiwa atau beberapa peristiwa yang lain. Masalah sebab dan akibat tersebut dengan nama causalitas, yang berasal dari kata “causa”  yang artinya adalah sebab. Di dalam ilmu pengetahuan hukum pidana ajaran causalitas ini bertujuan untuk memberikan jawaban atas pertanyaan bilamanakah suatu perbuatan dipandang sebagai suatu sebab dan akibat yang timbul atau dengan perkataan lain ajaran causalitas bertujuan untuk mencari hubungan sebab dan akibat seberapa jauh akibat tersebut ditentukan oleh sebab.[18] Dengan demikian jelas bahwa dalam proses penegakan hukum harus diperhatikan terkait dengan beberapa mata rantai dalam hubungan sebab dan akibat, karena tidak semata-mata peristiwa itu terjadi tanpa ada yang mengawalinya (sebab). Sehingga sebab ini menjadi faktor penentu terhadap suatu peristiwa.
1.    Teori-teori Kausalitas (Ajaran-ajaran Kausalitas)
a.    Teori Ekivalensi (aquivalenz-theorie) atau Bedingungstheorie atau teori condition sine qua non dari von Buri[19]
Teori ini mengatakan : tiap syarat adalah sebab, dan semua syarat itu nilainya sama, sebab kalau satu syarat tidak ada maka akibatnya akan lain pula. Tiap syarat, baik positif maupun negatif untuk timbulnya suatu akibat itu adalah sebab, dan mempunyai nilai yang sama. Kalau satu syarat dihilangkan, maka tidak akan terjadi akibat kongkrit, seperti yang senyata-nyatanya, menurut waktu, tempat dan keadaannya. Tidak ada syarat yang dapat dihilangkan (lazim dirumuskan “nicht hiin weggedacht warden kann dan seterusnya) tanpa menyebabkan berubahnya akibat.[20]
Contoh : A dilukai ringan, kemudian dibawa ke dokter. Di tengah jalan ia kejatuhan genting, lalu mati. Penganiayaan ringan terhadap A itu juga merupakan sebab dari matinya A.
Teori ekivalensi ini memakai pengertian “sebab” sejalan dengan pengertian yang dipakai dalam logika. Dalam hubungan ini baik dikemukakan, bahwa terlepas satu sama lain, John Stuart Mill (di Inggris) dalam bukunya : Sistem of Logic berpendapat, “bahwa “sebab itu adalah “the whole of antecedents” (1843).
Van Hamel, seorang penganut teori ekivalensi berpendapat bahwa “untuk hukum pidana teori ini boleh digunakan, apabila diperbaiki dan diatur oleh teori kesalahan yang harus diterapkan dengan sebaik-baiknya”. Di sini dijelaskan, bahwa harus dibedakan antara hubungan kausal dan pertanggung jawaban pidana.[21]
Kritik/keberatan terhadap teori ini : hubungan kausal membentang ke belakang tanpa akhir, sebab tiap-tiap “sebab” sebenarnya merupakan “akibat” dari “sebab” yang terjadi sebelumnya.
Jadi misal : B ditikam oleh A sampai mati. Yang merupakan sebab bukan hanya ditikam A, tetapi juga penjualan pisau itu kepada A dan penjualan pisau itu tidak ada, apabila tidak ada pembuatan pisau.
Jadi pembuatan pisau itu juga “sebab” dan begitu seterusnya. Berhubungan dengan keberatan itu, maka ada teori-teori lain yang hendak membatasi teori tersebut teori-teori yang akan disebutkan di bawah ini, mengambil dari sekian faktor yang menimbulkan akibat itu beberapa faktor yang kuat (dominant), sedang faktor-faktor lainnya dipisahkan sebagai faktor­-faktor yang irrelevant (yang tidak perlu/penting).
Kebaikan teori ini: mudah diterapkan, sehingga tidak banyak menimbulkan persoalan, dan juga karena teori ini menarik secara luas sekali dalam membatasi lingkungan berlakunya pertanggungjawaban pidana. Teori ekivalensi ini dapat dipandang sebagai pangkal dari teori-teori lain.
b.    Teori Individualisasi
Teori-teori ini memilih secara post actum (inconcreto), artinya setelah peristiwa kongkrit terjadi, dari serentetan faktor yang aktif dan pasif dipilih sebab yang paling menentukan dari peristiwa tersebut; sedang faktor-faktor lainnya hanya merupakan syarat belaka. Penganut­penganutnya tidak banyak antara lain[22] :
1.        Birkmayer (1885) mengemukakan : sebab adalah syarat yang paling kuat (Ursache ist die wirksamste Bedingung)
2.        Binding. Teorinya disebut (Ubergewichtstheorie)
Dikatakan: sebab dari sesuatu perubahan adalah identik dengan perubahan dalam keseimbangan antara faktor yang menahan (negatif) dan faktor yang positif, dimana faktor yang positif itu lebih unggul. Yang disebut “sebab” adalah syarat-syarat positif dalam keunggulannya (in ihrem Ubergerwicht-bobot yang melebihi) terhadap syarat-syarat yang negatif. Satu-satunya sebab ialah faktor atau syarat terakhir yang menghilangkan keseimbangan dan memenangkan faktor positif itu.
c.    Teori Generalisasi
Teori-teori ini melihat secara ante factum (sebelum kejadian/in abstracto) apakah diantara serentetan syarat itu ada perbuatan manusia yang pada umumnya dapat menimbulkan akibat semacam itu, artinya menurut pengalaman hidup biasa, atau menurut perhitungan yang layak, mempunyai kadar (kans) untuk itu. Dalam teori ini dicari sebab yang adequate untuk timbulnya akibat yang bersangkutan (ad-aequare artinya dibuat sama). Oleh karena itu teori ini disebut teori adequat (teori adequate, Ada-quanzttheorie)[23]. Contoh-contoh tentang ada atau tidaknya hubungan sebab akibat yang adequat :
1.        Suatu jotosan yang mengenai hidung, biasanya dapat mengakibatkan hidung keluar darah. Akan tetapi apabila orang yang pukul itu menjadi buta itu bukan akibat yang adequate. Ini suatu akibat yang abnormal, yang tidak biasa.
2.        Seorang yang menyetir mobil terpaksa mengerem sekonyong-konyong, oleh karena ada pengendara sepeda hendak menyebrang jalan yang membelok, sedang ini tidak disangka-sangka oleh pengendara mobil. Pengendara mobil ini mendapat penyakit trauma karena menekan urat. Dan ini pun dapat dikatakan bahwa perbuatan pengendara sepeda itu tidak merupakan penyebab yang adequate untuk timbulnya penyakit trauma tersebut.
3.        Seorang petani membakar tumpukan rumput kering (hooi), dimana secara kebetulan bersembunyi/tidur seorang penjahat hingga ikut mati terbakar. Adakah pen-sebab-an yang adequate ? Jawabannya tergantung dari keadaan. Jika biasanya menurut pengalaman sehari-hari, tidak timbul akibat semacam itu maka perbuatan petani itu bukanlah sebab. Akan tetapi apabila di daerah itu merupakan kebiasaan orang untuk bersembunyi atau menginap dalam tumpukan rumput, maka perbuatan petani itu benar-benar mempunyai kadar untuk matinya seseorang.
Hal yang merupakan persoalan dalam teori ini ialah : bagaimanakah penentuannya, bahwa suatu sebab itu pada umumnya cocok untuk menimbulkan akibat tertentu itu ? Mengenai hal ini ada beberapa pendirian. Disini disebut antara lain :
1.    Penentuan subyektif (subjective ursprungliche prognose).
Disini yang dianggap sebab ialah apa yang oleh sipembuat dapat diketahui/diperkirakan bahwa apa yang dilakukan itu pada umumnya dapat menimbulkan akibat semacam itu (Von Kries jadi pandangan atau pengetahuan       sipembuatlah yang menentukan).
2.    Penentuan obyektif.
Dasar penentuan apakah suatu perbuatan itu dapat menimbulkan akibat ialah keadaan atau hal-hal yang secara obyektif kemudian diketahui atau pada umumnya diketahui. Jadi bukan yang diketahui atau yang dapat diketahui oleh sipembuat, melainkan pengetahuan dari hakim.
Dasar penentuan (Beurteilungs standpunkte) ini disebut “objektive nachtragliche prognose” (Rumelin).
Sebenarnya dalam teori kausal adequat subyektif (Von Kries) itu tersimpul unsur penentuan tentang kesalahan); oleh karena itu dapat dikatakan bahwa teori adequate subyektif dari von Kries ini bukan teori kausalitas yang murni. Sebab suatu perbuatan baru dianggap sebagai sebab yang adequate apabila sipembuat dapat mengira-ngirakan atau membayangkan (voor zien) akan terjadinya akibat atau kalau orang umumnya membayangkan terjadinya akibat itu; jadi sipembuat dapat membayangkan dan seharusnya dapat membayangkan. Oleh karena dalam ajaran tersebut tersimpul unsur kesalahan, maka ia juga menentukan pertanggunganjawab (pidana), jadi bukan teori kausalitas dalam arti yang sesungguhnya.
Contoh: seorang majikan, yang sangat membenci pekerjanya, tetapi tidak berani melepasnya, ingin sekali agar pekerja itu mati. Pada waktu hujan yang disertai petir ia menyuruh pekerjanya itu pergi ke suatu tempat dengan harapan agar orang itu disambar petir. Harapan itu terkabul dan pekerjanya itu mati disambar petir.
Menurut teori ekivalensi: ya, sebab seandainya pekerja itu tidak disuruh keluar oleh majikan, maka ia tidak mati. Konsekwensi ini umumnya dipandang terlalu jauh. Oleh karena itu lebih memuaskan apabila dipakai teori adequate. Menurut teori ini : perbuatan menyuruh orang ke tempat lain pada umumnya tidak mempunyai kadar untuk kematian seseorang karena disambar petir. Penyambaran petir adalah hal yang kebetulan. Dengan ini maka tidak ada hubungan kausal, sehingga juga tidak ada pemidanaan.
Beberapa penganut teori adequat yang lain[24] :
1. Simons
Dikatakan olehnya : “suatu perbuatan dapat disebut sebagai sebab dari suatu akibat, apabila menuntut pengalaman manusia pada umumnya harus diperhitungkan kemungkinan, bahwa dari perbuatan sendiri akan terjadi akibat itu”.
2. Pompe
Yang disebut sebab ialah perbuatan-­perbuatan yang dalam keadaan tertentu itu mempunyai strekking untuk menimbulkan akibat yang bersangkutan.
Tinjauan terhadap teori-teori kausalitas tersebut di atas : teori ekuivalentie dapat dikatakan teori kausalitas yang benar, akan tetapi selalu diberi suatu penambahan. Teori ini ditambah dengan penentuan ada dan tidaknya unsur kesalahan pada sipembuat, dan memberi keterangan yang cukup memuaskan apakah sesuatu perbuatan itu merupakan sebab dari sesuatu akibat yang dimaksudkan dalam rumusan delik yang bersangkutan.
Mengenai teori adequat dari von Kries, itu dapat juga dikatakan, bahwa teori tersebut sesuai dengan jiwa hukum pidana. Hukum Pidana itu mempunyai tugas untuk melindungi kepentingan hukum terhadap perkosaan dan perbuatan yang membahayakan. Berhubung dengan tugas tersebut maka hukum pidana harus membuat “pagar” terhadap perbuatan-perbuatan yang agaknya mendatangkan kerugian. Dalam hal ini teori adequat dapat menunjukkan perbuatan-perbuatan tersebut. Akan tetapi kelemahan teori ini tidak mudah dalam kenyataan, ia menggunakan istilah-istilah yang tidak terang misalnya biasanya, kadar, pengalaman manusia pada umumnya dan sebagainya.

D. Kesimpulan
Idealisme merupakan suatu paham yang mengedepankan bahwa penampakan dunia fisik pada hakikatnya sudah berada di alam ide. Kebenaran dalam pemikiran Plato adalah berada di alam ide bukan didialogkan seperti halnya Socrates gurunya. Hukum dalam pemikiran Plato terkait dengan pengelolaan pemikiran-pemikiran manusia yang masuk akal yang diputuskan oleh negara, namun ini tidak menjadi hak otoritatif negara dalam membuat hukum.
Teori kausalitas terkait dengan hubungan adanya sebab-sebab tertentu  yang mengakibatkan terjadinya sesuatu. Dalam penegakan hukum teori kausalitas ada tiga macam. Yaitu teori Ekivalensi, teori Individualisasi dan teori Generalisasi. Masing-masing ketiga teori ini saling melengkapi dan menguatkan dalam proses penegakan hukum.

Daftar Pustaka
…….2010, Modul Azaz-azaz Hukum Pidana untuk Diklat Pendahuluan Pendidikan dan Pelatihan Pembentukan Jaksa (PPPJ), Jakarta.
AM. Suhar, 2010,  Filsafat Umum Konsepsi, Sejarah dan Aliran, Gaung Persada Press, Jakarta.
Bakir. Herman, 2009, Filsafat Hukum Desain dan Arsitektur  Kesejarahan, PT. Refika Aditama, Jakarta.
Delfgaauw. Bernard, 1992, Sejarah Singkat Fisafat Barat. Tiara Wacana, Yoyakarta.
Hakim. Abdul. Atang dan Saebani. Ahmad. Beni, 2008, Filsafat Umum dari Metolog sampai Teofilosofi, Pustaka Setia, Bandung.
Prodjohamidjojo. Martin, 1997, Memahami Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, PT. Pradnya Paramita, Jakarta.
Rasjidi. Lili dan Rasjidi. Sonia. Liza, 2012, Dasar-dasar Filsafat dan Teori Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.
Rasjidi. Lili dan Rasjidi. Thania. Ira, 2012, Pengantar Filsafat Hukum, CV. Mandar Maju, Bandung.
S.Praja. Juhaya, 2014, Aliran-aliran Filsafat dan Etika, PT. Kencana Prenadamedia Group,  Jakarta.
S.Praja. Juhaya, 2011, Teori Hukum dan Aplikasinya, CV. Pustaka Setia, Bandung.
Tafsir. Ahmad, 2012, Filsafat Umum Akal dan Hati Sejak Thales sampai Capra, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung.
Fitriah Artina dkk., “Makalah Ajaran Kausalitas dalam Hukum Pidana”, dalam http://fitriahartina011.blogspot.com/2012/10/ajaran-kausalitas- dalahukum-pidana.html. diakses tanggal 01 November 2014.







[1]  Atang Abdul Hakim dan Beni Ahmad Saebani, Filsafat Umum, dari Metolog sampai Teofilosofi, Cetakan 1, (Bandung: Pustaka Setia, 2008), hlm. 15.
[2]  Ibid.
[3]  Konon, orang yang mula-mula sekali menggunakan akal secara serius adalah orang Yunani yang bernama Thales (kira-kira tahun 624-546). Orang inilah yang digelari Bapak Filsafat. Gelar itu diberikan kepadanya karena ia mengajukan pertanyaan yang aneh, yaitu Apakah sebenarnya bahan alam semesta ini? Ia sendiri menjawab air. Setelah itu silih bergantilah filosof sezamannya dan sesudahnya mengajukan jawabannya. Semakin lama persoalan yang dipikirkan oleh manusia semakin luas, dan semakin rumit pula pemecahannya. (Ahmad Tafsir, Filsafat Umum, Akal dan Hati Sejak Thales sampai Capra, Cetakan 19, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya Offset, 2012), hlm. 1.
[4]  Suhar AM, Filsafat Umum Konsepsi, Sejarah dan Aliran, Cetakan 2, (Jakarta: Gaung Persada Press, 2010), , hlm. 1.
[5]  Ibid., hlm. 211.
[6] Juhaya S. Praja, Aliran-aliran Filsafat dan Etika, Cetakan 5, (Jakarta: PT. Kencana Prenadamedia Group, 2014), hlm. 126.
[7]  Bernard  Delfgaauw, Sejarah Singkat Filsafat Barat. (Yoyakarta: Tiara Wacana, 1992),  hlm. 59.
[8]  Ahmad Tafsir, Loc. Cit , hlm. 144.
[9]  Ibid.
[10]  Ibid.
[11]  Ibid., hlm. 57.
[12]  Suhar AM, Loc. Cit., hlm. 218.
[13] Beberapa penulis sejarah filsafat hukum mengungkapkan bahwa Socrates-lah yang mula pertama berfilsafat tentang manusia. Segala aspek tentang manusia menjadi obyek pembicaraannya. Diperkirakan filsafat hukum lahir pada masa ini dan berkembang mencapai puncak kegemilangannya melaluli filsuf-filsuf besar setelah Sokrates, yaitu Plato, Aristoteles, dan filsuf-filsuf lainnya di Zaman Yunani dan Romawi di antara kedua masa tersebut, masa Yunani Merupakan masa yang amat subur bagi pertumbuhan filsafat hukum. Lili Rasjidi dan Ira Thania Rasjidi, Pengantar Filsafat Hukum, Cetakan 6, (Bandung, CV. Mandar Maju, 2012), hlm. 22.
[14]  Herman Bakir, Filsafat Hukum Desain dan Arsitektur  Kesejarahan, Cetakan 2, (Jakarta: PT. Refika Aditama, 2009), hlm.174.
[15]  Ibid., hlm.175-176. Pemikiran tentang tentang negara berdasarkan filsafat dualismenya (dunia fenomena dan dunia eidos). Dalam dunia fenomena terdapat negara-negara yang real dan kurang sempurna, sedangkan dalam dunia eidos terdapat negara ideal. Negara ideal adalah negara teratur secara adil. Juhaya S. Praja, Teori Hukum dan Aplikasinya, Cetakan 2, (Bandung, CV. Pustaka Setia, 2011), hlm. 129-130.
[16] Lili Rasjidi dan Liza Sonia Rasjidi, Dasar-dasar Filsafat dan Teori Hukum, Cetakan 11, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2012), H
lm. 18.
[17]   Herman Bakir, Op. Cit., hlm. 176.
[18] Fitriah Artina dkk., “Makalah  Ajaran  Kausalitas  dalam Hukum Pidana”,  dalam http://fitriahartina011.blogspot.com/2012/10/ajaran-kausalitas-dalam-hukum-pidana.html. diakses tanggal 01 November 2014.
[19]  Teori ini berasal dari  M. von Buri, sarjana Jerman, dalam bukunya Ueber Causalitat und  deren Verantwortung, Lepzig tahun 1973 mengatakan bahwa setiap syarat yang tidak dapat dihilangkan dari pikiran tanpa membuang pikiran hasil terakhir adalah menjadi sebab. Jadi, setiap faktor yang turut serta menjadikan akibat harus dipandang sebagai sebab-sebab yang tidak dapat diabaikan.  Martin Prodjohamidjojo, Memahami Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, Cetakan 1, (Jakarta: PT. Pradnya Paramita, 1997), hlm. 32.
[20] Modul Azaz-azaz Hukum Pidana untuk Diklat Pendahuluan Pendidikan dan Pelatihan Pembentukan Jaksa (PPPJ), (Jakarta: 2010),  hlm. 60.
[21]  Ibid., hlm. 61.
[22]  Ibid., hlm. 62-63.
[23] Ibid., hlm. 64.
[24]  Ibid., hlm. 68-69.